A.
Pengertian Tuhan
Tuhan adalah segala sesuatu yang paling kita cintai
atau utamakan. Di dunia ini tdiak seorangpun yang tidak bertuhan, walaupun ada
diantara kita yang menyeut dirinya atheis.
Kata Tuhan merujuk kepada suatu zat abadi dan
supranatural, biasanya dikatakan mengawasi dan memerinah manusia dan alam
semesta atau jagat raya. Hal ini bisa digunakan untuk merujuk kepada beberapa
konsep dalam sebuah bentuk energiatau kesdaran yang merasuki seluruh alam
semesta, dimana keberadaan-Nya membuat alam semesta ada, sumber segala yang
ada, kebajkan yang terbaik dan tertinggi dalam semua makhluk hidup, ataupun
yang tak bisa dimengerti atau dijelaskan.
Dalam bahasa inodnesia menyebut dengan TUHAN yang
berasal dari bahasa sansekerta yaitu TUH HYANG, yang memiliki arti roh atau
dewa yang memiliki posisi tertinggi dalam kahyangan atau sorga.
B.
SEJARAH TUHAN
Abad ke IV dan VI SM, perkembangan luar biasa terjadi.
Para pemikir kreatif mulai menantang dan melampui kepercayaan-kepercayaan
religius, mitologi, dan faktor masyarakat yang sudah mapan. Pemikiran mereka
makin abstrak. Mereka adalah para filsuf pencari kebijaksanaan. Menurut catatan
sejarah, pemikiran Yunani munculnya para filsuf di awali ketika orang mulai
mempertanyakan mite-mite atau dongeng-dongeng.
Para filsuf mengkaji kembali persoalan-persoalan kuno
mengenai asal-usul alam dan segala sesuatu. Mereka mulai menentang
pengertian-pengertian akal sehat tentang sifat-sifat benda dan membedakan antara
realitas sejati dengan penampakan benda-benda. Mereka mulai mempertanyaakan
mitos-mitos dan mulai mencari jawaban tentang misteri-misteri alam secara
sistematis, tema pemikiran itu lalu berkisar pada masalah: “ada”, “menjadi”,
“subtansi ruang dan waktu”, “kebenaran”, jiwa dan pengenalan serta “Tuhan Allah
dan dunia”.
Pada akhir aabad V SM, Upanishads telah mengembangkan
sebuah konsepsi ketuhanan khas yang melampaui dewa-dewa tidak lagi dipandang
sebagai wujud lain yang berada di luar para penyembahnya, justru manusia yang
berusaha memperoleh realisasi kebenaran batiniah. Para filsuf India
mempertahankan suatu konsepsi tentang adanya realitas absolut atau Brahman,
yang di pegang teguh oleh perjalanan manusia sehari-sehari yang bebas dan tidak
di kenal sama sekali.
Sasaran yang diselidiki para filsuf pertama (abad VI
SM) mencakup segala sesuatu yang dapat dipikirkan akal dapat dikatakan mereka
adalah filsuf alam, yang dimaksud dengan alam (fusis) adalah seluruh kenyataan
hidup dan kenyataan badaniah. Thales merupakan filosof pertama yang bersifat
kealaman dan monistis pada zaman Yunani kuno, yakni bahwa esensi sesuatu hal
itu selalu bersifat ketunggalan.
Parmanides (540-475 SM) selanjutnya menyatakan bahwa,
yang "ada" itu merupakan satu kesatuan yang bulat yang mengambil
ruang, maka tidak ada ruang yang kosong. Dari corak pemikiran yang sifatnya
kealaman dan monistis, pemikiran Yunani memasuki era baru bersifat kealaman dan
pluralitas lalu perkembangan selanjutnya para filsuf mengalihkan obyek
pemikiran dari alam ke arah pemikiran tentang manusia sendiri, yang dipelopori
oleh Pytagoras (485 SM) dan Sokrates (469-399 SM).
Sejak itu lahir berturut-turut filsuf besar seperti
Plato (427-347 SM), Aristoteles (348-322 SM), Platinus (Neoplatinus). Konsep
filsafat tertinggi yang diajarkan Plato adalah suatu “idea” (Tuhan). Konsep
ketuhanan Plato tidak mempunyai kedudukan yang jelas. Meskipun menyinggung yang
“Ilahi” namun Plato tidak setuju dengan adanya para dewa dan dewi suatu
mitologi Yunani yang disembah khalayak ramai. Paham tentang Tuhan pencipta dan
yang esa tidak ditemukan dalam karya Plato.
Konsep ada “Demiurg” merupakan konsep tentang yang
pandai mengatur segala yang dapat disaksikan, tetapi konsep ini bukanlah sang
pencipta. Dunia ide tentu saja merupakan tempat dimana yang Ilahi itu muncul,
maka manusia yang memikirkan tentang dunia ide, sama halnya dengan mendekati
Tuhan juga. Jadi dunia idea adalah realita yang sebenarnya. Sementara
Aristoteles menyatakan sebaliknya. Dunia idea adalah bayangan dari dunia kongkrit,
dan semua alam raya ini bergerak menuju tujuan tertentu.
Masa setelah Aristoteles kemudian disebut Heliristis, dimana puncak
keemasan yunani terletak pada popularitas sokrates, plato, dan sejak
aristoteles yang secara umum bersifat kosmosentris.
pemikiran
yunani ditandai dengan perkembangan pemikiran patristik: ketika bapak gereja
mulai terlibat dalam pemikiran filsafat yang mewarnai pemikiran yunani hingga
abad ke 8 M. seperti filosof besar di bidang teologi dan filsafat: Aurelius
Agustinus (354-430 M) pemikirannya merupakan rangkiman seluruh pemikiran
kristiani. Menurutnya, manusia sama dengan dunia lain, berpartisipasi dengan
idea ilahi secara aktif.
Sejak abad ke-8 di Eropa Barat, muncul pola pemikiran
baru yang disebut skolastik. Skolastisisme adalah istilah umum yang digunakan
untuk menunjuk pada pemikiran abad pertengahan yabg dipraktikkan di Barat
kristen antara sekitar 1050 sampai 1350 pada masa ini kecenderungan pemikiran
yang mencoba mempertahankan dan menjelaskan kebenaran agama dengan felsafat.
Tokoh paling penting pada periode skolastik awal
adalah St Anselmus (1033-1109) pemikiran Anselmus merupakan sintesis antara
pemikiran skolatik dan abad peertengahan. Anselmus menerima sepenuhnya
penggunaan dialektika untuk theologi, bagi Anselmus tidak hanya akal budi yang
dapat membawa seseorang sampai kepada kepercayaan, melainkan sebaliknya bahwa
manusia harus percaya agar dapat memperoleh kepercayaan pemahaman yang benar
mengenai kenyataan.
Argumen Anselmus yang paling masyhur ialah bukti antologis
eksistensi Tuhan. Bukti antologis dimulai dengan menunjukkan bahwa konsep
sesuatu itu sendiri memuat eksistensinya. Anselmus menyatakan bahwa definisi
Tuhan itu sendiri mengimplikasikan eksistensi-Nya. Tuhan bagi Anselmus adalah
maha besar, ada dalam pikiran dan ada juga di luar pikiran. Argumen tersebut
secara radikal mengajarkan bahwa apa yang dipikirkan, berarti objek itu
benar-benar ada, tidak mungkin ada sesuatu yang nyata ada di dalam pikiran,
tetapi di luar pikiran objek itu tidak ada.
Kemudian, abad-abad berikutnya berlalu dalam kegelapan sampai datangnya
abad ketujuh belas, yang diawali dengan munculnya Renaissence. Puncak masa
Renaissence dimulai dengan muncul pemikiran Rene Descartes dari Prancis
(1596-1650).
Descartes berpendapat bahwa penetapan wujud alam
tergantung pada tepatnya wujud Tuhan. Jadi, ia tidak mengambil dalil dari alam
untuk menetapkan wujud penciptaannya. Sebaliknya ia mempergunakan keberadaan
sang pencipta yang maha sempurna dan abadi sebagai petunjuk bahwa alam itu
benar-benar ada, bukan khayalan semu.
Di daratan Eropa muncul filosof menggantikan Descartes
yang memiliki pendapat yang patut diperhitungkan dalam filsafat ketuhanan yang
terkenal diantaranya aadalah Spinoza filsafat spinoza dapat dikatakan sebagai
koreksi terhadap pandangan dualisme Descartes menganai keterpisahan jiwa dan
badan dan pandangan dualisme antara Tuhan dan penciptaan dunia.
Pandangan Spinoza tentang Tuhan atau subtansi dapat
disimpulkan sebagai berikut: Tuhan itu satu, di luar Tuhan tidak ada sesuatu
apapun yang eksis, Bingkai alam adalah tubuh Tuhan, sedangkan sisi mental dari
struktur fisikal alam adalah jiwa Tuhan, Objek-objek material adalah modus
Tuhan atau substansi.
Filsafat Spinoza mengidentikan Tuhan dengan alam.
Tidak ada beda antara Tuhan dan alam. Tuhan bukan merupakan pencipta, tetapi ia
adalah alam itu sendiri jadi, pembedaan antara pencipta dan ciptaan Allah
dengan alam adalah ilusi. (pendirian ini ialah panteisme). Namun, dalam salah
satu tulisannya, Spinoza menyangkal telah mengatakan tentang kesatuan Tuhan itu
aada di alam, Dia tidak terpisah dari alam dan alam pun tidak terpisah
dari-Nya, karena tidak ada keterpisahan dari “tanpa kesudahan” (yakni Tuhan).
Yahudi clari dunia, namun orang Yunani percaya bahwa
karunia akal membuat manusia serumpun dengan Tuhan; mereka, oleh karena itu,
bisa mencapainya dengan usaha mereka sendiri. Walaupun demikian, setiap kali
kaum monoteis jatuh cinta kepada filsafat Yunani, maka tak pelak lagi mereka
ingin mencoba mengadaptasikan konsepsi Tuhan Yunani dengan konsepsi mereka
sendiri. Ini akan menjadi salah satu tema pokok cerita kita. Salah satu orang
pertama yang berupaya melakukan ini adalah filosof kenamaan Yahudi, Philo dari
Aleksandria (30-45 M). Philo adalah seorang Platonis dan memiliki reputasi
gemilang sebagai filosof rasional pad a zamannya. Dia menulis dalam bahasa
Yunani yang baik dan tampaknya tidak bisa berbahasa Ibrani meskipun dia juga
seorang Yahudi yang beriman dan menaati mitzvot. Dia tak melihat adanya
perbedaa n antara Tuhannya dengan Tuhan Yunani. Akan tetapi, mesti dikatakan
bahwa Tuhan Philo tampak sangat berbeda dari Yahweh. Karena suatu hal, Philo
tampaknya kurang senang dengan kitab-kitab sejarah Alkitab, yang coba dia ubah
menjadi kiasan-kiasan yang rumit: Aristoteles, dapat diingat kembali, memahami
sejarah secara tidak filosofis. Tu• hannya tidak memiliki sifat-sifat manusia:
dalam konsepsi Aristoteles, adalah tidak tepat, misalnya, menyatakan bahwa
Tuhan “marah”. Yang dapat kita ketahui tentang Tuhan adalah fakta tentang eksistensi-
nya saja. Meskipun demikian, sebagai praktisi Yahudi, Philo sungguh- sungguh
percaya bahwa Tuhan telah menampakkan dirinya kepada para nabi. Bagaimana hal
ini menjadi mungkin? Philo memecahkan persoalan itu dengan membuat pembedaan
penting antara esensi Tuhan (Ousia), yang sepenuhnya tidak dapat dipahami, dan
aktivitas Tuhan di dunia yang disebutnya “kekuasaan” (dynamies) atau energi
(energeiai). Pada dasarnya, itu mirip dengan solusi P dan para penulis Hikmat.
Kita tidak pernah bisa mengetahui Tuhan sebagaimana dia dalam dirinya sendiri.
Philo menulis bahwa Musa berkata: “Pemahaman tentang aku adalah sesuatu yang
manusia, ya, bahkan seluruh langit dan bumi, tidak mampu menampungnya.”
Untuk mengadaptasikan dirinya kepada
kemampuan akal kita yang terbatas, Tuhan berkomunikasi melalui “kekuasaannya”,
yang tampak• nya sama denga n bentuk-bentu k suci Plato (tetapi Philo tidak
selamanya konsisten tentang ini). Bentuk-bentuk suci ini merupakan realitas
tertinggi yang dapat dijangkau oleh pikiran manusia. Philo menganggapnya
memancar dari Tuhan, seperti Plato dan Aristoteles memandan g bahwa kosmos
memancar secara abadi dari Sebab Pertama. Dua di antara kekuasaan ini penting
secara khusus. Philo menyebutnya kuasa Kerajaan, yang mengungkapkan Tuhan dalam
keteraturan alam, dan kuasa Kreatif, yang dengannya Tuhan meng• ungkapkan diri
dalam berkat yang dilimpahkannya kepada manusia. Masing-masing kuasa ini tidak
bisa dicampuradukkan dengan esensi ilahi (ousid), yang tetap terbungkus dalam
misteri yang tak tertembus. Kuasa itu memampukan kita menangkap kilasan
realitas yang berada di atas segala sesuatu yang bisa kita pahami. Terkadang
Philo berbicara tentang wujud esensial Tuhan (ousia) didampingi oleh kuasa
Kerajaan dan Kreatif dalam sebentuk trinitas. Ketika menginterpretasikan kisah
kunjungan Yahweh dan dua malaikat kepada Abraham di Mamre, misalnya, dia
mengatakan bahwa peristiwa itu merupakan penampilan kiasan ousia Tuhan—Dia
Sebagaimana Adanya—bersama dua ke• kuasaan senior.
Orang Yahudi selalu memandan g
konsepsi Philo tentang Tuhan sebagai tidak autentik. Akan tetapi, orang Kristen
mengangga p Philo sangat membantu, dan orang Yunani, seperti akan kita
saksikan, menerima pembedaan antara “esensi” Tuhan yang tak dapat diketahui
dengan “energi” yang membuatnya dapat kita kenali. Mereka juga akan dipengaruhi
oleh teorinya tentang Logos ilahi. Seperti halnya para penulis Hikmat, Philo
membayangkan bahwa Tuhan telah membentuk sebuah rancangan dasar (logos)
penciptaan, yang bersesuaian dengan alam bentuk-bentuk Plato. Sekali lagi,
Philo tidak selalu konsisten. Kadangkala dia menyatakan bahwa Logos adalah
salah satu dari kuasa itu; pada saat lain dia tampaknya berpendapat bahwa Logos
lebih tinggi, yakni sebagai ide tertinggi tentang Tuhan yang bisa dicapai oleh manusia.
Namun demikian, ketika kita berkontemplasi tentang Logos, kita tidak membentuk
pengetahuan positif tentang Tuhan: kita tiba di luar jangkauan akal diskursif
menuju pemahaman intuitif yang “lebih tinggi daripada suatu cara berpikir,
lebih berharga daripada sesuatu yang sekadar merupakan pikiran.”75 Itu adalah
aktivitas yang mirip dengan kontemplasi Plato (theoria). Philo ber- sikeras
bahwa kita tak akan pernah mencapai Tuhan sebagaimana dia dalam dirinya:
kebenaran tertinggi yang dapat kita jangkau adalah pengakuan tak terelakkan
bahwa Tuhan benar-benar mentransendensi pikiran manusia.
Ini tidak segamblang kedengarannya.
Philo menggambarkan sebuah pengembaraan penuh kasih dan menyenangkan menuju
yang tak diketahui, yang memberinya pembebasan dan energi kreatif. Seperti
Plato, dia memandan g jiwa seperti dalam pengasingan, terperangkap dalam dunia
mated yang bersifat fisik. la harus kembali kepada Tuhan, rumahnya yang sejati,
meninggalkan kesenangan, dunia indriawi, dan bahkan bahasa, karena semua itu mengikat
kita dengan dunia yang tidak sempurna. Akhirnya, jiwa akan mencapai kebahagiaan
yang membawanya mengatasi kesuraman keterbatasan ego menuju realitas yang lebih
luas dan utuh. Kita telah menyaksikan bahwa konsepsi tentang Tuhan sering
merupakan pemikiran imaji- natif. Para nabi telah merefleksikan pengalaman
mereka dan merasa bahwa hal itu berasal dad suatu wujud yang mereka sebut
Tuhan. Philo memperlihatkan bahwa kontemplasi religius memiliki banyak kesamaan
denga n bentuk-bentuk kreativitas lain. Ada saat-saat, katanya, ketika dia
sulit meneruskan penulisan bukunya dan tidak membuat kemajuan apa pun, tapi
terkadang dia merasa terkuasai oleh tuhan:
Aku
… tiba-tiba menjadi penuh, ide-ide turun bagaikan salju, sedemikian sehingga di
bawah pengaruh kuasa ilahi, aku dipenuhi kegaduhan Corybantic [ritus dan
prosesi dalam pemujaan Dewi Cybele—dewi alam masyarakat kuno Asia Minor—yang
sangat liar secara emosional,— ed.] dan menjadi tak sadar akan apa pun, tempat,
orang, waktu saat ini, diri sendiri, apa yang diucapkan, dan apa yang
dituliskan. Karena aku memperoleh ekspresi, gagasan, kebahagiaan hidup,
pandangan tajam, kejelasan yang luar biasa atas objek-objek seperti yang
mungkin terjadi lewat penglihatan mata yang sangat jernih.
Segera
setelah itu, tidak mungkin lagi bagi orang-orang Yahudi untuk mencapai sebuah
sintesis dengan dunia Yunani. Pada tahun kematian Philo terjadi pembunuhan
sistematik atas komunitas Yahudi di Aleksandria dan merebaknya ketakutan akan
kebangkitan Yahudi. Ketika Romawi menegakkan imperium mereka di Afrika Utara
dan Timur Tengah pada abad kesatu SM, mereka menenggelamkan diri dalam
kebudayaa n Yunani, menggabungka n dewa-dew a nene k moyang mereka dengan
dewa-dewa Yunani dan mengadopsi filsafat Yunani dengan sangat antusias. Namun,
mereka tidak mewarisi sikap permusuhan Yunani terhadap orang Yahudi.
Sebaliknya, mereka tak jarang lebih membela orang Yahudi daripada orang Yunani,
meman• dang mereka sebagai sekutu penuh di kota-kota Yunani yang masih
menyimpan sisa-sisa permusuhan terhadap Romawi. Orang Yahudi diberi kebebasan
beragama sepenuhnya: agama mereka dikenal sebagai agama besar di zaman antik
dan dihormati. Hubungan antara Yahudi dan Romawi biasanya selalu baik,
sekalipun di Palestina, yang sering sulit menerima pemerintahan asing. Pada
abad kesatu M, Yudaisme berada dalam posisi yang sangat kuat dalam kerajaan
Romawi. Sepersepuluh dari seluruh wilayah kerajaan diisi komunitas Yahudi: di
Aleksandria, empat puluh persen penduduk adalah orang Yahudi. Orang-orang di
kerajaan Romawi tengah mencari alternatif agama baru. Gagasan monoteistik
sedang merebak, dewa-dewa lokal tak lama kemudian hanya dianggap sebagai
perwujudan dari keilahan yang lebih luas. Orang Romawi tertarik pada karakter
moral Yudaisme yang tinggi. Mereka yang keberatan untuk disunat dan mengikuti
Taurat sering dijadikan anggota kehormatan sinagoga-sinagoga dan disebut
sebagai “orang yang takut kepada Allah”. Jumlah mereka terus meningkat: bahkan
diperkirakan bahwa salah seorang kaisar Flavian mungkin telah beralih ke
Yudaisme, sementara Konstantin nantinya beralih ke Kristen. Namun di Palestina,
sebuah kelompok politik ekstrem dengan keras menentang pemerintahan Romawi.
Pada 66 M, mereka merancang sebuah pemberontakan melawan Romawi dan, di luar
dugaan, berhasil menghambat gerak maju pasukan Romawi selama empat tahun. Para
penguasa cemas pemberontakan itu akan meluas kepada kaum Yahudi diaspora
lainnya dan terpaksa menumpasnya tanpa ampun. Pada 70 M, tentara kaisar baru
Vespasian akhirnya menguasai Yerusalem, meratakan Kuil dengan tanah, dan
menjadikannya kota Romawi bernama Aelia Capitolana. Sekali lagi orang Yahudi
terusir ke pengasingan.
Keruntuhan kuil, yang telah menjadi
sumber inspirasi Yudaisme baru, merupakan duka yang dalam. Akan tetapi, jika
melihat ke belakang, tampaknya orang Yahudi Palestina, yang sering lebih kon-
servatif daripada Yahudi diaspora yang sudah terhelenisasi, telah mempersiapkan
diri mereka untuk menghadapi bencana ini. Berbagai sekte telah tumbuh di Tanah
Suci ini yang dengan berbagai cara berbeda memisahkan diri mereka dari Kuil
Yerusalem. Sekte Essenia dan sekte Qumran percaya bahwa Kuil telah menjadi
kotor dan korup; mereka menarik diri dan hidup dalam komunitas terpisah,
seperti komunitas bergaya monastik di sisi Laut Mati. Mereka percaya bahwa
mereka sedang membangun sebuah kuil baru, yang bukan dibuat dengan tangan. Kuil
mereka adalah Kuil Ruh; bukannya dengan memberikan hewan kurban seperti yang
lama, mereka menyucikan diri dan mencari pengampunan dosa dengan upacara baptis
dan perjamuan umum. Tuhan hadir di tengah persaudaraan yang saling mengasihi,
bukan di dalam kuil batu
Yang paling progresif di antara
semua umat Yahudi Palestina adalah kaum Farisi yang merasa solusi aliran
Essenia terlalu elitis. Dalam Perjanjian Baru, kaum Farisi digambarkan sebagai
orang-orang munafik. Ini disebabkan oleh distorsi polemik pada abad pertama.
Kaum Farisi sebenarnya merupakan orang-orang Yahudi yang sangat spiritual.
Mereka percaya bahwa seluruh Israel telah diimbau untuk menjadi bangsa suci para
rahib. Tuhan dapat hadir di rumah yang paling sederhana sebagaimana
kehadirannya di Kuil. Akibatnya, mereka hidup bagaikan kasta rahib resmi,
menjalankan hukum-hukum kesucian khusus yang mereka terapkan hanya pada kuil
yang ada di rumah mereka. Mereka bersikeras untuk makan dalam keadaan suci
secara ritual karena mereka yakin bahwa meja setiap orang Yahudi bagaikan
mezbah Tuhan di Kuil. Mereka menanamkan rasa tentang kehadiran Tuhan dalam
setiap perincian kecil kehidupan sehari- hari. Orang Yahudi kini dapat langsung
mendekati Tuhan tanpa perantaraan kasta rahib dan tanpa ritual yang rumit.
Mereka dapat beroleh ampunan dosa dengan cara berbuat baik kepada tetangga
mereka; sedekah merupakan mitzvah terpenting di dalam Taurat; ketika dua atau
tiga orang Yahudi belajar Taurat bersama-sama, Tuhan hadir di tengah-tengah
mereka. Selama beberapa tahun di awal abad itu, muncul dua aliran yang saling
bertentangan: satunya dipimpin oleh Shammai yang Tua, yang lebih ketat, yang
lain dipimpin oleh Rabi Hillel yang Tua, yang merupakan kelompok Farisi paling
po- puler saat itu. Ada sebuah cerita bahwa suatu hari seorang pagan mendatangi
Hillel dan berkata kepadanya bahwa dia pasti akan menganut Yudaisme jika rabi
itu mampu membaca semua isi Taurat sambil berdiri di atas sebelah kaki. Hillel
menjawab: “Jangan me- lakukan kepada orang lain suatu perbuatan yang engkau
sendiri tidak ingin dilakukan kepada dirimu. Itulah keseluruhan Taura.
Pada tahun 70 yang penuh krisis itu,
Farisi berkembang menjadi Yudaisme Palestina yang paling penting dan disegani;
mereka telah membuktikan kepada umat bahwa mereka tidak membutuhkan Kuil untuk
menyembah Tuhan, sebagaimana diperlihatkan oleh kisah masyhur berikut ini:
Ketika Rabi Yohannan ben Zakkei tiba
dari Yerusalem, Rabi Yoshua mendatanginya dan diceritakan bahwa Kuil telah
dihancurkan. “Celakalah kita!” seru Rabi Yoshua, “tempat penebusan dosa-dosa
orang Israel telah dirobohkan!” “Anakku,” jawab Rabi Yohannan, “janganlah
berduka. Kita memiliki tempat penebusan lain yang sama ampuhnya. Apakah itu?
Itulah perbuatan baik, karena telah dikatakan: Yang Aku kehendaki adalah kasih
sayang, bukan pengurbanan.’”78. Konon setelah kejatuhan Yerusalem, Rabi
Yohannan diselundup- kan di dalam peti jenazah agar bisa keluar dari kota yang
tengah berkobar. Dia telah menentang pemberontakan Yahudi dan ber- pendapa t
bahwa orang-orang Yahudi akan lebih baik jika tidak memiliki negara . Oran g
Romawi mengizinkanny a mendirika n komunitas Farisi yang mandiri di Jabna,
sebelah barat Yerusalem. Beberapa komunitas yang serupa dibangun di Palestina
dan Babilonia. Mereka saling terkait erat. Komunitas ini menghasilkan para
sarjana yang disebut sebagai tannaim, termasuk tokoh rabi semacam Rabi Yohannan
sendiri, Rabi Akiva yang ahli mistik, dan Rabi Ishmael. Mereka mengompilasi
mishnah, kodifikasi hukum lisan yang meng- aktualisasikan kembali hukum-hukum
Musa. Selanjutnya, sekelompok sarjana baru yang dikenal sebagai amoraim,
memulai penafsiran atas Mishnah dan menghasilkan risalah-risalah yang secara
kolektif dikenal dengan nama Talmud. Bahkan ada dua Talmud yang telah
dikompilasi, yakni Talmud Yerusalem, yang diselesaikan pada akhir abad keempat,
dan Talmud Babilonia, yang dianggap lebih autoritatif dan baru selesai pada
akhir abad kelima. Proses tersebut terus berlanjut dan setiap generasi sarjana
mulai mengomentari Talmud dan tafsiran para pendahulu mereka. Perenungan hukum
ini tidak sekering yang cenderung dibayangkan oleh orang luar. Ini merupakan
meditasi tanpa akhir tentang Firman Tuhan, Bait Suci baru; setiap lapisan
tafsir itu mewakili dinding-dinding dan takhta Kuil baru, mengabadikan
kehadiran Tuhan di tengah-tengah umatnya.
Yahweh telah senantiasa menjadi
Tuhan yang transenden, yang membimbing manusia dari atas dan tak terjangkau.
Para rabi membuat dia hadir sangat dekat di dalam diri manusia dan dalam
perincian terkecil kehidupan sehari-hari. Setelah kehilangan Kuil dan menjalani
lagi pengalaman di pengasingan, orang Yahudi membutuhkan Tuhan di tengah-tengah
mereka. Para rabi tidak mengonstruksikan doktrin formal tentang Tuhan.
Sebaliknya, mereka mengalaminya sebagai kehadiran yang nyata. Spiritualitas
mereka telah dideskripsikan se- bagai keadaan “mistisisme yang normal.”79 Dalam
ayat-ayat Talmud yang paling awal, Tuhan dialami dalam fenomena fisik yang
misterius. Para rabi berbicara mengenai Roh Kudus, yang telah berpikir tentang
penciptaan dan pembangunan tempat suci, membuat kehadirannya dapat dirasakan
dalam embusan angin atau kobaran api. Yang lain mendengarnya dalam dentangan
lonceng atau suara ketukan yang keras. Suatu hari, contohnya, ketika Rabi
Yohannan duduk berdiskusi tentang pengalaman Yehezkiel melihat kereta perang,
sebuah nyala api turun dari langit dan malaikat-malaikat berdiri di dekatnya:
sebuah suara dari langit mengonfirmasikan bahwa Rabi itu mempunyai suatu misi
khusus dari Tuhan.80
Begitu kuatnya perasaan mereka
tentang kehadiran sehingga tak ada doktrin formal dan objektif yang sesuai.
Para rabi sering menyatakan bahwa di Gunung Sinai, setiap orang Israel yang
berdiri di kaki bukit telah mengalami Tuhan dalam cara yang berbeda. Tuhan
telah, sebagaimana mestinya, menyesuaikan dirinya kepada setiap orang “sesuai
dengan derajat pemahaman mereka.”81 Seperti dinyatakan oleh seorang rabi:
“Tuhan tidak datang kepada manusia dengan penuh paksaan, tetapi selaras dengan
kekuatan pemahaman seorang manusia terhadapnya.”8 2 Pandangan rabinik yang
sangat penting ini bermaksud bahwa Tuhan tidak dapat dijelaskan dalam suatu
formula yang sama bagi semua orang; dia secara esensial merupaka n pengalama n
subjektif. Masing-masing individu akan mengalami realitas “Tuhan” dalam cara
berbeda demi memenuhi kebutuhan temperamental khas individu itu. Setiap nabi
telah meng• alami Tuhan secara berbeda, demikian kata rabi itu, karena ke-
pribadiannya berpengaruh terhadap konsepsinya tentang yang ilahi. Akan kita
saksikan bahw a monoteis lain juga mengembangka n gagasan yang sangat mirip.
Hingga saat ini, ide-ide teologis tentang Tuhan merupakan persoalan pribadi
menurut pandangan Yudaisme dan tidak dipaksakan oleh siapa pun.
Setiap doktrin resmi akan membatasi
misteri Tuhan yang esensial. Para rabi menunjukkan bahwa Tuhan sama sekali
tidak bisa dipahami. Bahkan Musa juga tidak mampu menembus misteri Tuhan:
setelah melalui pencarian yang panjang, Raja Daud mengakui bahwa adalah sia-sia
untuk mencoba memahami Tuhan karena dia terlalu agung bagi pikiran manusia.83
Orang Yahudi bahkan dilarang mengucapkan namanya. Ini untuk mengingatkan bahwa
apa pu n usaha untuk mengungkapkan Tuhan pasti tidak akan memadai: nama suci
itu ditulis YHWH dan tidak dilafalkan dalam setiap pembacaan kitab suci. Kita
bisa mengagumi perbuatan Tuhan di alam semesta, tetapi, sebagaimana dikatakan
oleh Rabi Huna, ini hanya memberi kita gambaran yang sangat kecil tentang
keseluruhan realitas: “Manusia tidak dapat mengerti makna petir, topan, badai,
tatanan alam, hakikat dirinya sendiri; lantas bagaimana dia bisa membual mampu
memahami Raja dari segala Raja?”84 Keseluruhan gagasan tentang Tuhan adalah
untuk memotivasi lahirnya rasa tentang misteri dan ketakjuban hidup, bukan
untuk meraih solusi yang sejati. Para rabi bahkan memper- ingatkan orang-orang
Israel untuk tidak terlalu sering memuji Tuhan dalam doa mereka, karena ucapan
mereka cenderung menjadi tidak sempurna.8 5
Bagaimana wujud transenden dan tak
terpahami ini terkait dengan dunia? Para rabi mengekspresikan perasaan mereka
tentang ini dalam sebuah paradoks: “Tuhan adalah tempat dunia, namun dunia
bukanlah tempat Tuhan.”85 Tuhan meliputi dan mencakup dunia, tetapi dia tidak
hidup di dalamnya sebagaimana halnya makhluk. Dalam gam• baran favorit mereka
lainnya, dikatakan bahwa Tuhan mengisi dunia seperti jiwa memenuhi tubuh: dia
menghidupi tetapi melampauinya. Mereka juga berkata bahwa Tuhan seperti
penunggang kuda: ketika berada di atas kuda, penunggang bergantung pada
binatang itu, tetapi dia lebih unggul daripada kuda dan memegang kontrol lewat
tali kekang. Semua ini hanyalah gambaran dan, tak pelak, memang tidak sepadan.
Semua ini hanyalah ungkapa n imajinatif tentang “sesuatu” yang agung dan tak
terdefinisikan yang di dalamnya kita hidup dan bergerak dan mewujud. Ketika
mereka berbicara tentang kehadiran Tuhan di bumi, mereka secara
hati-hati—seperti halnya para penulis Alkitab—membedakan antara jejak-jejak
kehadiran Tuhan yang dia izinkan untuk kita lihat dengan misteri ilahi yang
lebih agung dan tidak bisa dijangkau. Mereka menyamakan gambaran “ke- muliaan”
(kavod) YHWH dengan Roh Kudus, yang terus-menerus mengingatkan bahwa Tuhan yang
kita alami tidak bersesuaian dengan esensi Realitas Suci itu sendiri.
Salah satu sinonim kata Tuhan yang
mereka sukai adalah Shekinah, yang berasal dari bahasa Ibrani shakan, tinggal
bersama atau me- negakkan kemah. Kini, tatkala Kuil telah runtuh, citra Tuhan
yang telah menemani orang Israel dalam pengembaraan mereka memberi petunjuk
tentang Tuhan yang bisa dijangkau.
Beberapa di antara mereka berkata
bahwa Shekinah, yang selalu berada bersama umatnya di bumi, tetap bersemayam di
Bukit Kuil, walaupun Kuil itu telah dihancurkan. Rabi yang lain berpendapat
bahwa penghancuran Kuil telah membebaskan Shekinah dari Yerusalem dan
memampukannya mengisi seluruh dunia.87 Seperti halnya “kemuliaan” tuhan atau
Roh Kudus, Shekinah tidak dikonsepsikan sebagai wujud ilahi yang terpisah,
tetapi sebagai kehadiran Tuhan di bumi. Para rabi melihat kembali sejarah umat
mereka dan mendapatkan bahwa dia telah selalu menemani mereka:
Datang
dan lihatlah betapa dicintainya Israel di hadapan Tuhan, sebab ke mana pun
mereka pergi Shekinah mengiringi mereka, seperti difirmankan: “Bukankah aku telah
secara jelas menyingkapkan diriku kepada rumah orangtuamu ketika mereka berada
di Mesir?” Di Babilonia, Shekinah bersama mereka, seperti difirmankan: “Demi
engkau, aku [dfjkirim ke Babilonia." Dan ketika di masa depan Israel
diselamatkan, Shekinah akan menyertai mereka saat itu, sebagaimana difirmankan:
"Tuhanmu akan mengubah ketertawananmu." Artinya, Tuhan akan kembali
bersamamu.88
Hubungan
antara Israel dengan Tuhannya begitu kuat sehingga tatkala dia menyelamatkan
mereka di masa silam, orang Israel biasa mengatakan kepada Tuhan: "Engkau
telah menyelamatkan dirimu sendiri."89 Dalam cara mereka yang khas Yahudi,
para rabi mengem- bangkan rasa tentang Tuhan sebagai sesuatu yang diidentik
dengan diri, yang oleh orang Hindu disebut Atman.
Gambaran tentang Shekinah telah
membantu orang-orang yang terusir untuk menumbuhkan rasa kehadiran Tuhan di
mana pun mereka berada. Para rabi berbicara tentang Shekinah yang berpindah
dari satu sinagoga diaspora ke sinagoga lain; yang lain menyatakan Shekinah
berdiri di depan pintu sinagoga, memberkati setiap langkah yang diambil oleh
seorang Yahudi dalam perjalanannya menuju majelis ilmu. Shekinah juga berdiri
di depan pintu sinagoga ketika orang Yahudi membacakan Shema bersama-sama di
sana.90 Seperti halnya orang Kristen awal, orang Israel dianjurkan oleh
rabi-rabi mereka untuk melihat diri mereka sebagai komunitas tunggal dengan
"satu jiwa dan satu badan."91 Komunitas adalah Kuil baru, yang meng-
abadikan imanensi Tuhan: maka ketika mereka memasuki sinagoga dan membacakan
Shema dalam keterpaduan sempurna "dengan taat, dengan satu suara, satu
pikiran, dan satu nada," Tuhan hadir di tengah-tengah mereka. Akan tetapi,
dia tidak menyukai ketiadaan harmoni di dalam komunitas dan kembali ke langit
tempat para malaikat menyenandungkan puja-puji "dalam satu suara dan satu
melodi."92Persatuan yang lebih tinggi antara Tuhan dan Israel hanya
mungkin terjadi ketika persatuan yang lebih rendah antarsesama Israel telah
sempurna: para rabi tak henti-hentinya mengatakan kepada orang Israel bahwa
ketika sekelompok orang Yahudi mempelajari Taurat bersama-sama, Shekinah akan
bersemayam di tengah-tengah mereka.9 3
Di pengasingan, orang Yahudi
merasakan kekerasan dunia di sekeliling mereka; rasa tentang kehadiran ini
membantu mereka untuk mengimajinasikan bahwa mereka dikelilingi oleh berkah
Tuhan. Ketika mereka mengikat jimat (tfillin) ke tangan dan kepala mereka,
mengenakan jumbai ritual (tzitzii), dan memakukan mezuzah yang berisi kata-kata
Shema di atas pintu mereka, sebagaimana digambar- kan dalam Kitab Ulangan,
mereka tidak boleh mencoba menjelaskan praktik-praktik yang ganjil dan tak
jelas ini. Usaha semacam itu akan mengurangi kandungan maknanya. Alih-alih,
mereka harus mem- biarkan pelaksanaan mitzvot ini mendorong mereka masuk ke dalam
kesadaran tentang limpahan kasih Ilahi: "Israel dicintai! Alkitab melingkupinya dengan mitzvot: tfillin di
kepala dan tangan, mezuzah di pintu, dan tzitzit di pakaian mereka."94
Tanda-tanda ini bagaikan mutiara yang dihadiahkan seorang raja kepada istrinya
untuk me- nambah kecantikan sang istri di hadapannya. Ini tidaklah mudah.
Talmud memperlihatkan bahwa sebagian orang mempertanyakan apakah Tuhan telah
membuat banyak perbedaan di dalam dunia yang gelap ini.95 Spiritualitas para
rabi menjadi normatif dalam Yudaisme, bukan hanya di kalangan mereka yang telah
meninggalkan Yerusalem tetapi juga di kalangan orang Yahudi yang hidup di
diaspora. Ini bukan karena ia didasarkan pada suatu pandangan teoretis: banyak
praktik Taurat yang tidak memiliki alur logika. Agama para rabi itu diterima
karena sifatnya yang praktis. Visi para rabi telah mencegah umat jatuh ke dalam
keputusasaan.
Namun, jenis spiritualitas ini hanya
ditujukan kepada kaum pria saja sebab kaum perempuan tidak dibutuhkan—dan
karena itu tidak diizinkan—untuk menjadi rabi, mempelajari Taurat, atau berdoa
di sinagoga. Agama Tuhan menjadi bersifat patriarkal seperti ke- banyakan
ideologi lain pada zaman itu. Peran kaum perempuan terbatas hanya untuk menjaga
kesucian ritual rumah mereka. Orang
Yahudi telah semenjak lama
menyucikan penciptaan dengan cara memilah bagian-bagiannya yang beragam, dan
dalam semangat ini kaum perempuan diturunkan ke suatu kawasan terpisah dari
laki- laki, sebagaimana mereka memisahkan susu dari daging di dapur mereka. Secara
praktis, ini berarti bahwa kaum perempuan dipandang inferior. Meskipun para
rabi mengajarkan bahwa kaum perempuan diberkati Tuhan, tetapi kaum pria
diperintahkan untuk bersyukur kepada Tuhan dalam doa pagi karena Tuhan tidak
menciptakan mereka sebagai orang yang non-Yahudi, budak, atau perempuan.
Walaupun demikian, perkawinan dipandang sebagai sebuah tugas sakral dan
kehidupan keluarga dianggap sebagai sesuatu yang luhur. Para rabi menekankan
kesuciannya melalui pengesahan yang sering disalahpahami. Jika hubungan seks
dilarang selama menstruasi, ini bukan disebabkan oleh anggapan bahwa kaum
perempuan itu kotor atau menjijikkan. Masa pantangan itu dirancang untuk
mencegah kesewenangan kaum pria terhadap istrinya: "Karena seorang pria
jadi sangat mengenal istrinya, dan kemudian ditolak olehnya, Taurat menyatakan
bahwa kaum perempuan harus menjalani niddah [tidak melayani hubungan seks]
selama tujuh hari [setelah menstruasi] agar dia menjadi dicintai oleh suaminya
[setelah itu] seperti pada hari pernikahan.”96 Sebelum pergi ke sinagoga pada
suatu hari perayaan, seorang pria diwajibkan melakukan mandi ritual, bukan
karena dia kotor, melainkan demi menjadikan dirinya lebih suci dalam menjalan-
kan pelayanan ilahi. Dalam semangat ini pula seorang perempuan diwajibkan mandi
ritual setelah periode menstruasi, untuk memper- siapkan dirinya bagi kesucian
tugas mendatang: hubunga n seks dengan suaminya. Gagasan bahwa seks mungkin
merupakan sesuatu yang suci tidak dikenal di dalam Kristen, yang acap melihat
seks dan Tuhan sebagai dua hal yang saling tidak bersesuaian. Benar bahwa orang
Yahudi pada masa berikutnya sering memberikan inter- pretasi negatif terhadap
ajaran-ajaran para rabi, tetapi rabi-rabi itu sendiri tidak mendakwahkan
spiritualitas yang murung, asketik, dan menyangkal kehidupan.
Sebaliknya, mereka mengajarkan bahwa
orang Yahudi berkewa- jiban untuk memelihara kehidupan agar tetap baik dan
menyenang- kan. Mereka sering menggambarkan Roh Kudus “meninggalkan” atau
“mengabaikan” karakter biblikal, seperti Yakub, Daifd, atau Ester ketika mereka
sedang sakit atau bersedih.9 7 Kadangkala mereka seakan-akan mendengar para
nabi itu mengutip Mazmur 22 ketika mereka merasa Roh meninggalkan mereka:
“Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” Ini membangkitkan
pertanyaan me- narik tentang seruan misterius Yesus dari tiang salib yang
mengutip kata-kata ini. Para rabi mengajarkan bahwa Tuhan tidak bermaksud
membuat kaum laki-laki atau perempuan menderita. Tubuh mesti dimuliakan dan
dirawat, karena ia dibentuk dalam citra Tuhan: adalah berdosa menghindarkan
kesenangan-kesenangan semacam anggur dan seks, sebab Tuhan telah
menganugerahkan semua itu untuk kebahagiaan manusia. Tuhan tak dapat dijumpai
dalam penderitaan dan asketisme. Ketika para rabi menyeru umatnya untuk
mengamal- kan cara-cara praktis “memiliki” Roh Kudus, mereka sebenarnya dalam
pengertian tertentu diminta untuk menciptakan citra mereka sendiri tentang
Tuhan. Para rabi mengajarkan bahwa tidaklah mudah untuk menentukan tapal batas
di mana perbuatan Tuhan berawal dan perbuatan manusia berakhir. Para nabi
selalu berupaya agar Tuhan bisa dilihat di bumi dengan cara menisbahkan wawasan
mereka sendiri kepadanya. Kini para rabi tampak terlibat dalam tugas yang
bersifat manusiawi sekaligus bersifat ketuhanan. Tatkala mereka me- nyusun
undang-undang baru, maka undang-undang itu akan merupa- kan perpadua n antara
unsur ketuhanan dan unsur kemanusiaan. Dengan meningkatnya jumlah Taurat di
dunia, para rabi memperluas kehadiran Tuhan di dunia dan menjadikannya lebih
efektif. Mereka sendiri menjadi dihormati sebagai inkarnasi Taurat; mereka
dianggap lebih “menyerupai Tuhan” dibandingkan dengan manusia lain karena
penguasaan mereka atas Taurat.98
Rasa tentang kedekatan Tuhan seperti
ini membantu orang Yahudi untuk melihat kemanusiaan sebagai sesuatu yang
sakral. Rabi Akiva mengajarkan bahwa mitzvah “cintailah tetanggamu sebagaimana
engkau mencintai dirimu sendiri” merupakan “prinsip agung Taurat.”99
Menyakiti sesama manusia merupakan
pengingkaran terhadap Tuhan itu sendiri, yang telah menciptakan manusia dalam
citranya. Ini setara dengan ateisme: upaya untuk mengingkari eksistensi Tuhan.
Dengan demikian, pembunuhan merupakan dosa paling besar karena melang- gar
norma-norma yang disucikan: “Kitab Suci mengajarkan kita bahwa apa pu n yang
menumpahka n darah manusia dipandang sebagai penghapusan citra Tuhan.”100
Sebaliknya, mengabdi bagi kepentingan manusia lain
termasuk ke dalam perbuatan meniru sifat Tuhan (imitatio dei): tindakan itu
mewujudkan kembali kasih sayang dan rahmat Tuhan. Karena semua diciptakan dalam
citra Tuhan, maka semuanya memiliki derajat yang sama: bahkan Imam Tertinggi
sekalipun harus dihukum jika dia meluka i sesama manusia , karen a perbuata n
itu sama denga n penyangkalan eksistensi Tuhan.101 Tuhan telah menciptakan
adam, seorang manusia, untuk mengajarkan kepada kita bahwa siapa pun yang
menghancurkan kehidupan seorang manusia akan dihukum seakan-akan dia telah
membunuh seluruh umat manusia; sama halnya, siapa yang menyelamatkan kehidupan
seseorang akan diberi pahala yang sama dengan menghidupkan semua umat
manusia.102 Ini bukan sekadar sentimen yang lemah, tetapi merupakan prinsip
hukum yang mendasar: artinya, tak seorang pun yang boleh dikurbankan demi
kepentingan kelompok.
Menghinakan seseorang, bahkan
seorang goyim atau budak, adalah perbuatan yang sangat ofensif, karena hal itu
setara dengan pembunuhan, penyangkalan akan citra Tuhan yang suci.103 Hak untuk
bebas kemudian menjadi sangat krusial: sulit menemukan satu alasan pun untuk
menjatuhkan hukuman penjara di dalam semua literatur rabinik, karena hanya
Tuhanlah yang berhak merampas kemerdekaan seorang manusia. Menyebarkan aib
sese• orang dianggap sama dengan menyangkal eksistensi Tuhan.104 Orang Yahudi
tidak mengandaikan Tuhan sebagai Big Brother yang terus mengamati gerak-gerik
manusia dari suatu tempat; sebaliknya mereka menanamkan sebuah kesadaran bahwa
Tuhan berada dalam diri setiap manusia sehingga hubungan dengan manusia lain
menjadi pertemuan yang sarat dengan nilai-nilai kesucian.
Hewan-hewan tidak mengalami kesulitan untuk hidup dalam tabiat mereka,
tetapi manusia merasakan sulitnya menjadi manusia yang utuh. Tuhan Israel
kadang tampak seakan-akan telah mendorong terjadinya kekejaman yang paling
tidak suci dan tidak manusiawi. Namun selama berabad-abad, Yahweh telah menjadi
sebuah gagasan yang mungkin dapat membantu orang-orang menanamkan rasa kasih
sayang dan saling menghormati terhadap sesama manusia, yang telah menjadi ciri
agama-agama Zaman Kapak. Cita-cita para rabi sangat dekat dengan agama besar
kedua, yang memang berakar dalam tradisi yang sama
Pada mulanya, manusia menciptakan
satu Tuhan yang merupakan Penyebab Pertama bagi segala sesuatu dan Penguasa
langit dan bumi. Dia tidak terwakili oleh gambaran apa pun dan tidak memiliki kuil
atau pendeta yang mengabdi kepadanya. Dia terlalu luhur untuk ibadah manusia
yang tak memadai. Perlahan- lahan dia memudar dari kesadaran umatnya. Dia telah
menjadi begitu jauh sehingga mereka memutuskan bahwa mereka tidak lagi
menginginkannya. Pada akhirnya dia dikatakan telah menghilang.
Begitulah, setidaknya, menurut satu
teori, yang dipopulerkan oleh Wilhelm Schmidt dalam The Origin of the Idea of
God, yang pertama kali terbit pada 1912. Schmidt menyatakan bahwa telah ada
suatu monoteisme primitif sebelum manusia mulai menyemba h banyak dewa. Pada
awalnya mereka mengakui hanya ada satu Tuhan Tertinggi, yang telah menciptakan
dunia dan menata urusan manusia dari kejauhan. Kepercayaan terhadap satu Tuhan
Tertinggi (kadang- kadan g disebut Tuhan Langit, karena dia diasosiasikan
dengan ketinggian) masih terlihat dalam agama suku-suku pribumi Afrika. Mereka
mengungkapka n kerinduan kepada Tuhan melalui doa; percaya bahwa dia mengawasi
mereka dan akan menghukum setiap dosa. Namun demikian, dia anehnya tidak hadir
dalam kehidupan keseharian mereka; tidak ada kultus khusus untuknya dan dia
tidak pernah tampil dalam penggambaran.
Warga suku itu mengatakan bahwa dia
tidak bisa diekspresikan dan tidak dapat dicemari oleh dunia manusia. Sebagian
orang bahkan mengatakan dia telah “pergi”. Para antropolog berasumsi bahwa
Tuhan ini telah menjadi begitu jauh dan mulia sehingga dia sebenarnya telah
digantikan oleh ruh yang lebih rendah dan tuhan-tuhan yang lebih mudah
dijangkau. Begitu pula, menurut teori Schmidt selanjutnya, di zaman kuno, Tuhan
Tertinggi digantikan oleh tuhan-tuhan kuil pagan yang lebih menarik. Pada
mulanya, dengan demikian, hanya ada satu Tuhan. Jika demi- kian, monoteisme
merupakan salah satu ide tertua yang dikembang- kan manusia untuk menjelaskan misteri
dan tragedi kehidupan. Ini juga menunjukkan beberapa masalah yang mungkin akan
dihadapi oleh ketuhanan semacam itu.
Adalah mustahil untuk membuktikan
hal ini dengan cara apa pun. Telah banyak teori tentang asal usul agama. Namun,
tampaknya menciptakan tuhan-tuhan telah sejak lama dilakukan oleh umat manusia.
Ketika satu ide keagamaan tidak lagi efektif, maka ia segera akan diganti.
Ide-ide ini diam-diam sirna, seperti ide tentang Tuhan Langit, tanpa
menimbulkan banyak kegaduhan . Dalam era kita sekarang ini, banyak orang akan
mengatakan bahwa Tuhan yang telah disembah berabad-abad oleh umat Yahudi,
Kristen, dan Islam telah menjadi sejauh Tuhan Langit. Sebagian lainnya bahkan
dengan terang-terangan mengklaim bahwa Tuhan telah mati. Yang jelas dia tampak
telah sirna dari kehidupan semakin banyak orang, terutama di Eropa Barat.
Mereka berbicara tentang suatu “lubang yang pernah diisi oleh Tuhan” dalam
kesadaran mereka karena, meski tampak tak relevan bagi sekelompok orang, dia
telah memainkan peran krusial dalam sejarah kita dan merupakan salah satu
gagasan terbesar umat manusia sepanjang masa. Untuk memahami apa yang telah
hilang dari kita itu—jika memang dia telah hilang—kita perlu melihat apa yang
dilakukan manusia ketika mereka mulai menyembah Tuhan ini, apa maknanya, dan
bagaimana dia dipahami.
Untuk melakukan itu, kita perlu
menelusuri kembali dunia kuno Timur Tengah, tempat gagasan tentang Tuhan kita
secara perlahan tumbuh sekitar 14.000 tahun silam. Salah satu alasan mengapa
agama tampak tidak relevan pada masa sekarang adalah karena banyak di antara
kita tidak lagi memiliki rasa bahwa kita dikelilingi oleh yang gaib. Kultur
ilmiah kita telah mendidik kita untuk memusatkan perhatian hanya kepada dunia
fisik dan material yang hadir di hadapan kita. Metode menyelidiki dunia seperti
ini memang telah membawa banyak hasil. Akan tetapi, salah satu akibatnya adalah
kita, sebagaimana yang telah terjadi, kehilangan kepekaan tentang yang
“spiritual” atau “suci” seperti yang melingkupi kehidupan masyarakat yang lebih
tradisional pada setiap tingkatannya dan yang dahulunya merupakan bagian
esensial pengalaman manusia tentang dunia. Di Kepulauan Laut Selatan, mereka
menyebut kekuatan misterius ini sebagai mana; yang lain mengalaminya sebagai
sebuah kehadiran atau ruh; kadang-kadang ia dirasakan sebagai sebuah kekuatan
impersonal, seperti layaknya sebentuk radioaktivitas atau tenaga listrik.
Kekuatan ini diyakini bersemayam dalam diri kepala suku, pepohonan, bebatuan,
atau hewan-hewan. Orang Latin mengalami numina (ruh-ruh) dalam semak yang
dianggap suci; orang Arab merasakan bahwa daratan dipenuhi oleh jin-jin. Secara
alamiah, manusia ingin bersentuhan dengan realitas ini dan memanfaatkannya,
tetapi mereka juga ingin sekadar me- ngaguminya. Ketika orang mulai mempersonalisasi
kekuatan gaib dan menjadikannya sebagai tuhan-tuhan, mengasosiasikannya dengan
angin, matahari, laut, dan bintang-bintang tetapi memiliki karakteristik
manusia, mereka sebenarnya sedang mengekspresikan rasa kedekatan dengan yang
gaib itu dan dengan dunia di sekeliling mereka.
Rudolf Otto, ahli sejarah agama
berkebangsaan Jerman yang menulis buku penting The Idea of the Holy pada 1917,
percaya bahwa rasa tentang gaib ini (numinous) adalah dasar dari agama.
Perasaan itu mendahului setiap hasrat untuk menjelaskan asal usul dunia atau
menemukan landasan bagi perilaku beretika. Kekuatan gaib dirasakan oleh manusia
dalam cara yang berbeda-beda—terkadang ia mengins- pirasikan kegirangan liar
dan memabukkan; terkadang ketenteraman mendalam, terkadang orang merasa kecut,
kagum, dan hina di hadapan kehadiran kekuatan misterius yang melekat dalam
setiap aspek kehidupan. Ketika manusia mulai membentuk mitos dan menyembah
dewa-dewa, mereka tidak sedang mencari penafsiran harfiah atas fenomena alam.
Kisaji-kisah simbolik, lukisan dan ukiran di gua adalah usaha untuk
mengungkapkan kekaguman mereka dan untuk menghubungkan misteri yang luas ini
dengan kehidupan mereka sendiri; bahkan sebenarnya para sastrawan, seniman, dan
pemusik pada masa sekarang juga sering dipengaruhi oleh perasaan yang sama.
Pada periode Paleolitik, misalnya, ketika pertanian mulai berkembang, kultus
Dewi Ibu mengungkapkan perasaan bahwa kesuburan yang mentransformasi kehidupan
manusia sebenarnya adalah sakral. Para seniman memahat patung-patung yang
melukiskannya sebagai seorang perempuan hamil telanjang yang banyak ditemukan
oleh para arkeolog tersebar di seluruh Eropa, Timur Tengah, dan India. Dewi Ibu
itu tetap penting secara imajinatif selama berabad-abad. Seperti Tuhan Langit
yang lama, dia kemudian masuk ke dalam kuil-kuil yang lama dan menempati posisi
sejajar dengan dewa-dewa lain yang lebih tua. Dia dahulunya merupakan salah
satu dewa terkuat, jelas lebih kuat daripada Dewa Langit, yang terus menjadi
sosok yang remang-remang. Dia disebut Inana di Sumeria kuno, Isytar di
Babilonia, Anat di Kanaan, Isis di Mesir, dan Aphrodite di Yunani. Kisah yang
benar-benar mirip terdapat di semua kebudayaan ini untuk mengekspresikan
peranannya di dalam kehidupa n spiritual manusia. Mitos-mitos ini tidak
dimaksudkan untuk dipahami secara harfiah, tetapi merupakan upaya metaforis
untuk meng- gambarkan sebuah realitas yang terlalu rumit dan pelik untuk bisa
diekspresikan dengan cara lain. Kisah-kisah dramatis dan mem- bangkitkan emosi
tentang dewa-dewi ini membantu manusia untuk menyuarakan perasaan mereka
tentang kekuatan dahsyat, namun tak terlihat yang mengelilingi mereka.
Di dunia kuno memang tampaknya
manusia percaya bahwa hanya melalui keterlibatan dalam kehidupan yang suci ini
mereka bisa menjadi manusia yang sesungguhnya. Kehidupan duniawi amat rentan
dan dihantui bayang-bayang kematian, tetapi jika manusia meneladani tindakan
dewa-dewa maka mereka akan memiliki dalam kadar tertentu kekuatan dan
keefektifan dewa-dewa itu. Dengan demikian, bisa dikatakan bahw a dewa-dew a
itu telah memperlihatkan kepad a manusia bagaimana cara membangun kota-kota dan
kuil-kuil mereka, yang merupakan salinan dari tempat mereka bersemayam di
langit. Dunia suci para dewa—seperti yang sering diceritakan di dalam mitos—bukanlah
sekadar sebuah ideal yang ke arah itu manusia harus menuju, tetapi merupakan
prototipe eksistensi manusia; itulah pola atau arketipe orisinal yang menjadi
model kehidupan kita di sini. Dengan demikian, segala sesuatu yang ada di bumi
dipandang sebagai replika dari semua yang ada di dunia ilahiah. Inilah persepsi
yang membentuk mitologi, organisasi ritual dan sosial kebanyakan kebudayan
antik dan terus mempengaruhi lebih banyak masyarakat tradisional pada era kita
sekarang ini. Di Iran kuno, misalnya, setiap orang atau objek di dunia jasadi
(getik) diyakini mempunyai padanan- nya di dunia arketipal realitas suci
(menok). Ini adalah perspektif yang sulit untu k kita apresiasi di dunia modern
, karena kita memandang autonomi dan kebebasan sebagai nilai kemanusiaan yang
tinggi. Namun demikian, ungkapan terkenal post coitum omne animal tristist est
tetap mengungkapkan pengalaman yang sama: setelah suatu momen yang menegangkan
dan dinanti-nanti dengan penuh harap, kita sering merasa kehilangan sesuatu
yang lebih besar, namun senantiasa luput dari jangkauan- kita. Meniru tuhan
masih menjadi ajaran agama yang penting: beristirahat pada hari Sabbath atau
mencuci kaki pada hari Kamis Maundy—perbuatan-perbuatan yang tidak bermakna
dalam dirinya sendiri—kini menjadi signifikan dan sakral karena orang-orang
percaya bahwa perbuatan semacam itu pernah dikerjakan oleh Tuhan.
Spiritualitas yang serupa telah
menjadi ciri dunia Mesopotamia kuno. Lembah Tigris-Eufrat, yang berada di
wilayah pemerintahan Irak kini, telah dihuni sejak 4000 SM oleh kelompok
manusia yang dikenal sebagai orang Sumeria. Mereka telah membangun salah satu
kebudayaan oikumene (dunia berperadaban) terbesar pertama. Di kota-kota Ur,
Erech, dan Kish, orang Sumeria mencipta aksara cunei• form mereka, membangun
menara-kuil hebat yang disebut ziggurat, dan mengembangkan hukum, sastra, dan
mitologi yang mengesan- kan. Tak lama berselang, kawasan itu diinvasi oleh
orang Akkadian Semitik, yang kemudian mengadopsi bahasa dan peradaban Sumeria.
Lalu, masih sekitar 2000 SM, orang Amorit menaklukkan peradaban
Sumeria-Akkadian dan menjadikan Babilonia ibu kota mereka. Akhirnya, sekitar
500 tahun kemudian, orang Asyur bermukim di Asyur yang tak jauh dari situ lalu
menguasai Babilonia pada abad kedelapan SM. Tradisi Babilonia ini juga
mempengaruhi mitologi dan agama Kanaan, yang akan menjadi Tanah yang Dijanjikan
bagi orang Israel kuno. Sebagaimana masyarakat di dunia kuno lainnya, orang
Babilonia menisbahkan prestasi kebudayaan mereka kepada dewa-dewa yang telah
mewahyukan gaya hidup mereka sendiri kepad a nene k moyan g mitikal masyarakat
Babilonia. Denga n demikian, Babilonia dianggap sebagai gambaran surga, setiap
candi- nya adalah replika kerajaan langit. Keterkaitan dengan alam suci ini
dirayakan setiap tahun dalam Festival Tahun Baru yang meriah, yang telah secara
kukuh dikembangkan pada abad ketujuh SM. Dirayakan di kota suci Babilonia
selama bulan Nisan—atau April— Festival itu secara khidmat memahkotai raja dan
menahbiska n kekuasaannya untuk tahun berikutnya.
Namun, stabilitas politik ini hanya
bisa bertahan selama ia berpartisipasi di dalam pemerintahan dewa-dewa yang
lebih abadi dan efektif, yang telah mengenyahkan kekacauan primordial ketika
dunia pertama kali diciptakan. Dengan demikian, Festival sebelas hari suci itu
mengantarkan para partisipan dari zaman yang profan ke alam para dewa yang
sakral dan abadi melalui tindakan ritual. Seekor domba disembelih untuk
meninggalkan tahun yang lama; penghinaan publik terhadap raja dan pemahkotaan
raja yang zalim sebagai pengganti membangkitkan kembali kekacauan asal;
pemberontakan menghidupkan kembali pertarungan dewa-dewa melawan kekuatan
perusak.
Dengan demikian, perbuatan-perbuatan
simbolik memiliki nilai sakramental; tindakan itu membuat orang Babilonia mampu
meneng- gelamkan diri ke dalam kekuatan suci atau mana yang menjadi tempat
bergantung peradaban besar mereka. Kebudayaan dirasakan sebagai sebuah
pencapaian yang rentan, yang selalu bisa menjadi korban kekuatan yang
mengacaukan dan memecah belah. Pada senja hari keempat Festival itu, para
pendeta dan penyanyi paduan suara memenuhi bait suci untuk menyenandungkan
Enuma Elish, puisi epik yang merayakan kemenangan para dewa atas kejahatan.
Kisah ini bukanlah peristiwa faktual tentang asal usul fisik kehidupan di bumi,
melainkan suatu upaya simbolik yang hati-hati untuk meng- ungkap sebuah misteri
besar dan membebaskan kekuatan sucinya. Pengisahan harfiah tentang penciptaan
adalah mustahil, sebab tidak ada orang yang hadir pada saat peristiwa-peristiwa
yang tak ter- bayangkan itu terjadi: mitos dan simbol dengan demikian merupakan
satu-satunya cara yang sesuai untuk menjelaskannya. Pandangan sekilas atas
Enuma Elish memberi kita wawasan tentang spiritualitas yang melahirkan konsep
kita tentang Tuhan Pencipta berabad-abad kemudian. Meskipun kisah biblikal dan
Qurani tentang penciptaan akan mengambil bentuk yang sama sekali berbeda,
mitos-mitos aneh ini tidak pernah benar-benar hilang, tetapi akan kembali masuk
ke dalam sejarah Tuhan di kemudian hari, dikemas dalam sebuah idiom
monoteistik.
Kisah dimulai dengan penciptaan
dewa-dewa itu sendiri, sebuah tema yang—sebagaimana akan kita saksikan
nanti—menjadi begitu penting dalam mistisisme Yahudi dan Muslim. Pada mulanya,
seperti dituturkan dalam Enuma Elish, dewa-dewa muncul berpasangan dari sebuah
substansi berair yang tidak berbentuk—sebuah substansi yang denga n sendirinya
suci. Dalam mitos Babilonia—seperti yang kemudian tercantum dalam Alkitab—tak
ada penciptaan yang bermula dari ketiadaan, itu sebuah gagasan yang asing bagi
dunia kuno. Sebelum dewa-dewa maupun manusia ada, bahan mentah yang suci ini
telah ada secara abadi. Ketika orang Babilonia mencoba mem- bayangkan zat
primordial suci ini, mereka berpikir ia pasti mirip dengan tanah berpaya di
Mesopotamia, yang tak henti-hentinya terancam banjir yang akan menyapu habis
karya-karya manusia yang lemah. Oleh karena itu, dalam Enuma Elish, kekacauan
{chaos) bukan berupa api panas yang mendidihkan, melainkan sebuah keadaan di
mana segala sesuatu menjadi tanpa batas, definisi, dan identitas: Tatkala yang
manis dan pahit menyatu, tak ada buluh yang terjalin, tak ada ketergesaan yang
mengeruhkan air, dewa-dewa tak bernama, tak berwatak dan, tak bermasa depan.
Kemudian tiga dewa muncul dari pusat
tanah berpaya; Apsu (diidentifikasikan sebagai air sungai yang manis),
istrinya, Tiamat (laut yang asin), dan Mummu, Rahim kekacauan. Namun, ketiga
dewa ini bisa dikatakan merupakan model awal dan inferior yang me- merlukan
perbaikan. Nama “Apsu” dan “Tiamat” dapat diterjemahkan sebagai “jurang”,
“kehampaan” atau “teluk tak berdasar”. Mereka sama-sama memiliki potensi tak
berbentuk dari ketiadaan bentuk yang azali dan belum mencapai suatu identitas
yang jelas.
Selanjutnya, serangkaian dewa-dewa
lain muncul dari mereka dalam proses yang disebut sebagai emanasi, yang akan
menjadi sangat penting dalam sejarah Tuhan kita sendiri. Dewa-dewa baru
dilahirkan dari dewa-dewa yang lain secara berpasangan, masing- masingnya
mendapatkan definisi yang lebih besar dari yang sebelumnya seiring langkah maju
evolusi keilahian. Pertama-tama datang Lahmu dan Lahamn (nama-nama mereka
berarti “endapan lumpur”; air dan tanah masih bercampur menjadi satu). Kemudian
muncul Ansher dan Kishar yang secara berurutan diidentifikasi dengan horizon
langit dan laut. Setelah itu Anu (langit) dan Ea (bumi) tiba dan rae-
nyempurnakan proses itu. Alam suci mempunyai langit, sungai-sungai, dan bumi
yang berbeda dan terpisah satu sama lain. Namun, pen• ciptaan baru saja
dimulai; kekuatan jahat dan pemecah belah hanya bisa dikalahkan melalui
perjuangan sengit dan tanpa henti.
Dewa- dewa yang lebih muda dan
dinamis bangkit melawan tetua mereka, tetapi meskipun Ea mampu mengalahkan Apsu
dan Mummu, dia tak berdaya menghadapi Tiamat, yang menghasilkan serombonga n
monster beraneka ragam bentuk untuk berperang atas namanya. Untungnya Ea punya
anak kandung yang luar biasa: Marduk, Dewa Matahari, spesimen keturunan dewa
yang paling sempurna. Dalam sebuah pertemuan Majelis Agung para dewa, Marduk
berjanji me- merangi Tiamat dengan syarat bahwa dialah yang nanti menjadi
penguasa mereka. Akan tetapi, dia baru berhasil membunuh Tiamat dengan bersusah
payah dan setelah melewati pertarungan yang lama dan berbahaya. Dalam mitos
ini, kreativitas adalah sebuah pertarungan, diraih denga n susah payah setelah
menempu h berbagai macam rintangan.
Bagaimanapun, pada akhirnya, Marduk
berhasil mengangkangi mayat Tiamat yang raksasa dan memutuskan untuk
menciptakan sebuah dunia baru; dia membelah tubuh Tiamat menjadi dua untuk
membentuk lengkungan langit dan bumi manusia; kemudian dia merancang
undang-undang yang akan menjaga agar segala sesuatu tetap berada pada posisinya
yang telah ditentukan. Ketertiban mesti dicapai, tetapi kemenangan belum lagi
sempurna. Kemenangan itu mesti dimantapkan kembali, melalui liturgi khusus,
tahun demi tahun. Kemudian para dewa berkumpul di Babilonia, pusat bumi baru,
dan mendirikan sebuah kuil tempat ritus-ritus langit diselenggarakan. Hasilnya
adalah ziggurat besar untuk menghormati Marduk,
“kuil bumi, simbol ketakterbatasan langit.”
Tatkala kuil itu telah selesai, Marduk menempati
singgasananya di puncak kuil dan dewa-dewa menggemakan suara:
“Inilah Babilonia, kota kesayangan para dewa, tanah
airmu yang tercinta!”
Kemudian mereka melakukan liturgi
“dari sumber di mana semesta memperoleh strukturnya,
dunia gaib menjadi nyata dan dewa-dewa mengambil tempat mereka di dalam
semesta.”
Hukum dan ritual ini mengikat setiap
orang; bahkan para dewa mesti menaatinya demi menjamin keberlangsungan ciptaan.
Mitos mengekspresikan makna batin peradaban, sebagaimana orang Babilonia
melihatnya. Mereka mengetahui betul bahwa nenek moyang mereka sendiri yang
membangun ziggurat, tetapi kisah Enuma Elish menyuarakan kepercayaan mereka
bahwa usaha kreatif mereka hanya mungkin bertahan jika memiliki keterkaitan
dengan kekuatan ilahi. Liturgi yang mereka rayakan di Tahun Baru telah
diciptakan sebelum manusia ada: liturgi itu tersurat dalam hakikat segala
sesuatu, yang bahkan dewa-dewa tunduk kepadanya. Mitos itu juga mengekspresikan
keyakinan mereka bahwa Babilonia adalah tempat suci, pusat dunia, dan tanah air
dewata—sebuah pernyataan yang penting dalam hampir semua sistem keagamaan kuno.
Ide tentang kota suci, tempat manusia merasakan kedekatan dengan kekuatan
sakral, sumber segala wujud dan kesaktian, menjadi penting dalam ketiga agama
monoteistik.
Akhirnya, hampir seperti sebuah
kebetulan saja, Marduk rnenciptakan manusia. Marduk mengalahkan Kingu (teman
dungu Tiamat yang diciptakannya setelah kekalahan Apsu), menebasnya, dan
membentuk manusia pertama dengan cara mencampur darah dewa dengan abu. Para
dewa menyaksikan dengan perasaan kaget dan takjub. Ada yang sedikit lucu dalam
kisah mitikal tentang asal usul manusia ini; meski merupakan puncak penciptaan,
tetapi manusia digambarkan berasal dari salah satu dewa yang paling bodoh dan
tidak sakti. Akan tetapi, kisah itu mengandung satu hal penting lain. Manusia
pertama diciptakan dari substansi seorang dewa; karenanya dia memiliki hakikat
ilahiah, sekalipun terbatas. Tak ada jurang pemisah antara manusia dan
dewa-dewa. Dunia alamiah, manusia, dan para dewa semuanya memiliki hakikat yang
sama dan diturunkan dari substansi suci yang sama pula. Pandangan pagan
bersifat holistik. Dewa-dewa tidaklah terasing dari umat manusia dalam kawasan
ont o logis yang terpisah: ketuhanan secara esensial tidak berbeda dari
kemanusiaan. Oleh karena itu, tidak diperlukan sebuah wahyu khusus dari para
dewa atau undang-undang ilahi untuk diturunkan ke bumi. Dewa-dewa dan manusia
berbagi penderitaan yang sama, satu-satu- nya perbedaan di antara mereka adalah
bahwa dewa-dewa itu lebih kuat dan abadi.
Visi holistik ini tidak terbatas di
Timur Tengah, tetapi lazim di seluruh dunia kuno. Pada abad keenam SM, Pindar
mengungkapkan versi Yunani tentang keyakinan ini dalam odenya mengenai per-
tandingan Olimpiade:
Satu pertarungan, satu antara manusia dan dewa-dewa;
Dari satu ibu kita berdua menarik napas.
Tetapi perbedaan kekuatan dalam segalanya Memisahkan
kita;
Karena tanpa yang lain kita tiada, kecuali langit yang
perkasa
Tetap tidak berubah untuk selamanya.
Namun dalam keagungan pikiran atau jasad
Kita bisa menjadi seperti yang Abadi.
Bukannya memandang para atlet
sebagaimana adanya, yang masing-masing berpacu mencapai prestasi pribadi
terbaiknya, Pindar menempatkan mereka berhadap-hadapan dengan dewa-dewa, yang
menjadi pola bagi semua cita-cita manusia. Manusia meniru dewa- dewa bukan
sebagai wujud yang tak berdaya, melainkan untuk me- menuhi potensi mereka yang
secara esensial berwatak ilahiah.
Mitos Marduk dan Tiamat tampaknya
telah mempengaruhi orang Kanaan, yang memiliki kisah yang amat mirip tentang
Baal-Habad, dewa badai dan kesuburan, yang sering disebut dalam Alkitab dengan
cara yang jauh dari memuji. Kisah pertarungan Baal dengan Yam- Nahar, dewa laut
dan sungai, diceritakan dalam lembaran yang ditulis sekitar abad keempat belas
SM. Baal dan Yam keduanya tinggal bersama El, Dewa Tertinggi Kanaan. Pada
Majelis El, Yam menuntut agar Baal diserahkan kepadanya. Dengan menggunakan dua
senjata magis, Baal malah mengalahkan Yam dan nyaris membunuhnya andaikata
Asyera (istri El dan ibu para dewa) tidak memohon dengan mengatakan bahwa
membunuh lawan yang sudah tidak berdaya adalah tidak terhormat. Baal merasa
malu dan melepaskan Yam, yang mewakili keganasan laut clan sungai yang tak
henti-hentinya mengancam akan membanjiri bumi. Sedangkan Baal, dewa badai,
membuat bumi menjadi subur.
Versi lain dari mitos itu
menyebutkan bahwa Baal membunuh Lotan, naga berkepala-tujuh, yang dalam bahasa
Ibrani disebut Leviathan. Dalam hampir semua kebudayaan, naga menyimbolkan
sesuatu yang laten, tak berbentuk, dan tak kentara. Dengan demikian, Baal telah
menghentikan kemungkinan untuk kembali ke dalam ketiadaan bentuk primal lewat
tindakan yang betul-betul kreatif dan dianugerahi sebuah istana indah yang
didirikan oleh para dewa untuk menghormatinya. Oleh karena itu, dalam setiap
agama kuno, kreativi- tas dipandang suci: kita masih menggunakan bahasa agama
untuk berbicara tentang “inspirasi” kreatif yang memperbarui realitas dan
menyegarkan pemaknaan tentang dunia.
Akan tetapi, Baal kemudian mengalami
kemunduran: dia mati dan harus turun ke alam Mot, dewa kematian dan sterilitas.
Tatkala mendengar tentang nasib
anaknya, Dewa Tertinggi El turun dari singgasananya, membalut Baal dan merajah
pipinya, namun tetap tidak bisa menebus putranya. Adalah Anat, kekasih dan
saudara pe- rempuan Baal, yang meninggalkan alam suci dan pergi mencari be-
lahan jiwanya,
“merindukannya bagaikan induk sapi atau induk domba
mencari anaknya.”
Ketika dia menemukan mayat Baal, dia
menyelenggarakan upacara pemakaman untuk mengagungkannya, menangkap Mot,
menebasnya dengan pedang, membelah, membakar, dan menginjak-injaknya seperti
jagung sebelum kemudian menyemaikan- nya ke tanah.
Kisah yang mirip juga diceritakan
tentang dewi agung lainnya— Inana, Isytar, dan Isis—-yang mencari mayat dewa
dan membawa kehidupan baru ke atas bumi. Akan tetapi, kemenangan Anat harus
diperbarui dan tahun ke tahun melalui upacara ritual. Belakangan— kita tak tahu
entah dengan cara bagaimana, sebab pengetahuan kita tidak lengkap—Baal hidup
lagi dan kembali ke pangkuan Anat. Pemujaan akan keutuhan dan harmoni, yang
disimbolisasikan oleh kesatuan seks, dirayakan melalui seks ritual di kalangan
masyarakat Kanaan kuno. Dengan meniru para dewa melalui cara ini, umat manusia
ikut berjuang melawan sterilitas dan memastikan kreativitas serta kesuburan
dunia. Kematian seorang dewa, pencarian sang dewi, dan keberhasilan untuk
kembali ke alam suci merupakan tema-tema keagamaan yang konstan dalam banyak budaya
dan akan muncul kembali dalam agama-agama dengan Satu Tuhan yang disembah oleh
umat Yahudi, Kristen, dan Islam.
Agama ini di dalam Alkitab
dinisbahkan kepada Abraham (Nabi Ibrahim), yang meninggalkan Ur dan akhirnya
menetap di Kanaan pada suatu masa antara abad kedua puluh dan kesembilan belas
SM. Kita tak memiliki riwayat kontemporer tentang Abraham, tetapi para peneliti
menduga bahwa Abraham mungkin sekali merupakan salah seorang pemimpin kafilah
pengembara yang membawa rakyatnya dari Mesopotamia menuju Laut Tengah pada
akhir milenium ketiga SM. Para pengembara ini—sebagian dari mereka disebut
Abiru, Apiru, dan Habiru dalam sumber-sumber Mesopotamia dan Mesir—berbicara
dalam bahasa Semitik Barat, yang mana bahasa Ibrani adalah salah satunya.
Mereka bukanlah kaum nomad padang
pasir yang reguler sebagaimana orang Badui yang berimigrasi bersama
ternak-ternak mereka sesuai pergantian musim. Mereka lebih sulit
diklasifikasikan dan sering terlibat konflik dengan autoritas-autoritas
konservatif. Status kultural mereka biasanya lebih tinggi dibanding penduduk
padang pasir itu. Sebagian bekerja sebagai tentara bayaran, pegawai pemerin-
tah, ada yang menjadi pedagang, pelayan, atau tukang besi. Sebagian di antara
mereka menjadi kaya raya dan kemudian berupaya mem- punyai tanah dan bermukim
menetap. Kisah-kisah tentang Abraham di dalam kitab Kejadian menceritakan bahwa
dia bekerja pada Raja Sodom sebagai prajurit bayaran dan bahwa dia sering
berkonflik dengan autoritas Kanaan dan daerah sekitarnya. Pada akhirnya, ketika
istrinya, Sara, meninggal, Abraham membeli tanah di Hebron, yang sekarang
terletak di Tepi Barat.
Kisah dalam kitab Kejadian tentang
Abraham dan anak keturunannya mengindikasikan adanya tiga gelombang kedatangan
orang Ibrani di Kanaan, kawasan Israel pada era modern. Salah satunya terkait
denga n Abraham dan Hebron , terjadi sekitar 1850 SM. Gelombang kedua berkaitan
dengan cucu Abraham, Yakub, yang diganti namanya menjadi Israel (“Semoga Tuhan
menunjukkan kekuasaannya”); dia menetap di Sikhem, yang sekarang menjadi kota
Arab Nablus di Tepi Barat. Alkitab menceritakan kepada kita bahwa putra Yakub,
yang menjadi leluhur dua belas suku keturunan Israel, beremigrasi ke Mesir
selama musim paceklik yang hebat di Kanaan. Gelombang ketiga pemukiman Ibrani
terjadi sekitar 1200 SM ketika suku-suku yang mengaku keturunan Abraham tiba di
Kanaan dari Mesir. Mereka mengatakan bahwa mereka telah dijadikan budak oleh
orang Mesir, tetapi dimerdekakan oleh suatu ilah bernama Yahweh, yang juga
merupakan tuhan pemimpin mereka, Musa. Setelah mendesak masuk ke Kanaan, mereka
beraliansi dengan orang Ibrani yang ada di sana dan kemudian disebut sebagai
orang Israel. Alkitab membuat jelas bahwa orang-orang yang kita kenal sebagai
bangsa Israel kuno merupakan konfederasi berbagai kelompok etnis, yang secara
mendasar disatukan oleh kesetiaan mereka kepad a Yahweh, Tuhan Musa. Akan tetapi,
kisah biblikal itu ditulis beberapa abad setelahnya, sekitar abad kedelapan SM,
meskipun jelas disandar- kan pada sumber-sumber narasi yang lebih awal.
Dalam abad kesembilan,-beberapa
sarjana biblikal Jerman mengembangkan metode kritis yang menguraikan empat
sumber berbed a dalam lima kitab pertama Alkitab: Kejadian, Keluaran, Imamat,
Bilangan, dan Ulangan. Ini kemudian dikumpulkan menjadi sebuah naskah akhir
yang kita kenal sebagai Lima Kitab Musa (Pentateukh) pada abad kelima SM.
Bentuk kritisisme semacam ini telah mendapat banyak perlakuan keras, namun tak
ada seorang pun yang mampu menciptakan teori yang lebih memuaskan untuk
menjelaskan mengapa terdapat kisah yang cukup berbeda tentang
peristiwa-peristiwa biblikal penting, seperti Penciptaan dan Air Bah, dan
mengapa kadangkala Alkitab mengandung pertentangan dalam dirinya sendiri.
Dua penulis biblikal paling awal,
yang karyanya dapat ditemukan dalam kitab Kejadian dan Keluaran, kemungkinan
menulis pada abad kedelapan SM, walaupun ada yang menyebut kemungkinan
penulisan di masa yang lebih awal. Salah satunya dikenal sebagai “J” karena dia
menyebut nama Tuhannya dengan “Yahweh”, yang lainnya disebut “E” karena dia
lebih suka meng- gunakan nama ketuhanan yang lebih formal, “Elohim”. Pada abad
kedelapan, orang Israel telah membagi Kanaan menjadi wilayah dalam dua kerajaan
terpisah. J menulis di Kerajaan Yehuda di sebelah selatan, sementara E berasal
dari Kerajaan Israel di sebelah utara
.
Kita akan mendiskusikan dua sumber
lain Lima Kitab Musa—tradisi Deuteronomis (D) dan Para Imam (P) tentang sejarah
Israel kuno—pada Bab 2. Kita aka n melihat bahw a dalam banyak hal, baik J da n
E mempunyai perspektif keagamaan yang mirip denga n tetangga mereka di Timur
Tengah, tetapi kisah-kisah mereka memang mem- perlihatkan bahwa pada abad
kedelapan SM, orang Israel mulai mengembangkan visi mereka sendiri yang khas.
J, misalnya, memulai sejarah Tuhannya dengan kisah tentang penciptaan dunia,
yang, jika dibandingkan dengan Enuma Elish, sangat tidak antusias:
Ketika TUHAN [Yahweh] Allah
menjadikan bumi dan langit—belum ada semak apa pun di bumi, belum timbul
tumbuh-tumbuhan apa pun di padang, sebab TUHAN Allah belum menurunkan hujan ke
bumi, dan belum ada orang untuk mengusahakan tanah itu; tetapi, ada kabut naik
ke atas dari bumi dan membasahi seluruh permukaan bumi itu—ketika itulah TUHAN
Allah membentuk manusia (adam) itu dari debu tanah (adamah) dan mengembuskan
napas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang
hidup.
Ini benar-benar merupakan titik
berangkat yang baru. Alih-alih berkonsentrasi kepada penciptaan dunia dan pada
periode prasejarah sebagaimana kaum pagan sezamannya di Mesopotamia dan Kanaan,
J lebih tertarik pada periode historis yang biasa. Tak terdapat keter- tarikan
yang sungguh-sungguh tentang penciptaan di Israel hingga abad keenam SM ketika
pengarang yang kita sebut “P” menuliskan kisahnya yang hebat dalam apa yang
sekarang merupakan bab pertama kitab Kejadian. J tidak secara mutlak yakin
bahwa Yahweh adalah satu-satunya pencipta langit dan bumi. Namun, yang paling
mencolok adalah persepsi J tentang perbedaan nyata antara manusia dengan tuhan.
Bukannya tersusun dari zat suci yang sama dengan tuhannya, manusia (adam),
bagai sebuah permainan kata, adalah bagiah dari tanah (adamah).
Tidak seperti tetangga pagannya, J
tidak mengesampingkan sejarah duniawi sebagai sejarah yang profan, lemah, dan
tak sub- stansial dibandingkan sejarah dewa-dewa yang suci dan primordial. Dia
bergegas melewati peristiwa-peristiwa prasejarah hingga tiba di penghujung
periode mitis, yang mencakup kisah-kisah seperti Air Bah dan Menara Babel,
kemudian tiba di permulaan sejarah Israel. Ini secara mendadak diawali pada bab
kedua belas tatkala manusia Abram, yang kemudian diberi nama baru Abraham
(“bapa sejumlah besar bangsa”), diperintahkan oleh Yahweh meninggalkan
keluarga- nya di Haran, yang kini menjadi wilayah timur Turki, dan bermigrasi
ke Kanaan dekat Laut Tengah. Kita diberi tahu bahwa ayahnya, Terah, seorang
pagan, sudah lebih dahulu bermigrasi ke arah barat dari Ur bersama keluarganya.
Kini Yahweh mengatakan kepad a Abraham bahwa dia memiliki takdir istimewa: dia
akan menjadi bapak sebuah bangsa besar yang suatu hari akan berjumlah lebih
banyak daripada bintang-bintang di langit, dan suatu ketika anak keturunannya
akan menguasai tanah Kanaan sebagai milik mereka. Kisah J tentang panggilan
bagi Abraham ini menetapkan nada awal bagi sejarah Tuhan ini di masa depan. Di
Timur Tengah kuno, mana yang suci dialami dalam ritual dan mitos. Marduk, Baal,
dan Anat tidak diharap- kan terlibat dalam kehidupan awam yang profan dari para
penyem- bahnya: tindakan-tindakan mereka telah berlangsung dalam waktu yang
sakral. Akan tetapi, kekuasaan Tuhan Israel bekerja secara langsung dalam
peristiwa-peristiwa di dunia nyata. Dia dialami sebagai sesuatu yang ada di
sini dan pada saat ini. Wahyu pertamanya berisi- kan sebuah titah: Abraham
harus meninggalkan negerinya dan pergi ke Kanaan.
Pada abad kedelapan SM, ketika J dan
E menuliskan kronik mereka, perubahan kondisi sosial dan ekonomi di Anak Benua
India sedang menjadikan Weda tidak lagi relevan. Gagasan para penduduk asli,
yang telah tertindas selama beberapa abad setelah invasi orang Aria, kembali
muncul ke permukaan dan membawa pada kehausan baru akan agama. Bangkitnya
perhatian terhadap karma, paham bahwa nasib seseorang ditentukan oleh
perbuatannya sendiri, mem- buat orang-orang tidak mau menyalahkan para dewa
atas perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab. Semakin kuat kecenderungan
untuk memandang para dewa sebagai simbol ketunggalan Realitas transenden.
Ajaran Weda sarat dengan ritual pengurbanan, namun bangkitnya ketertarikan
kepada praktik India kuno “Yoga” (“penge- kangan” daya pikir melalui disiplin
konsentrasi khusus) bermakna bahwa orang-orang menjadi tidak puas terhadap
suatu agama yang hanya memusatkan perhatian kepada aspek-aspek ekgternal. Pe•
ngurbanan dan liturgi tidaklah memadai: mereka ingin menemukan makna batin
ritus-ritus ini. Kita akan melihat bahwa nabi-nabi Israel merasakan
ketidakpuasan yang sama. Di India, dewa-dewa tidak lagi dipandang sebagai wujud
lain yang berada di luar para penyem- bahnya; justru manusia yang berusaha
memperoleh realisasi kebenaran batiniah.
Dewa-dewa tidak lagi penting di
India. Selanjutnya mereka digantikan oleh pemuka agama, yang akan dipandang
lebih tinggi daripada para dewa. Ini merupakan penegasan kuat tentang nilai
kemanusiaan dan keinginan untuk mengendalikan nasib: ini akan menjadi pandangan
keagamaan terbesar di anak benua itu. Agama baru Hinduisme dan Buddhisme tidak
menyangkal eksistensi para dewa, atau melarang orang untuk menyembahnya. Dalam
pandangan mereka, hambatan dan penyangkalan semacam itu akan merusak. Sebagai
gantinya, orang Hindu dan Buddha mencari cara baru untuk mentransendensikan
para dewa, untuk melampaui mereka. Selama abad kedelapan, para pemuka agama
mulai mengetengahkan isu- isu ini dalam risalah yang disebut Aranyakas dan
Upanishads, yang secara kolektif dikenal sebagai Vedanta-. penutup Weda.
Upanishads terus-menerus muncul sehingga pada akhir abad kelima SM, telah
terkumpul sebanyak dua ratus buah. Tidak mungkin melakukan generalisasi
terhadap agama yang kita sebut Hinduisme karena ia mengelak dari sistem dan
menolak kemungkinan bahwa satu tafsiran eksklusif bisa dianggap memadai. Namun,
Upanishads telah mengem- bangkan sebuah konsepsi ketuhanan khas yang melampaui
dewa- dewa tetapi hadir secara begitu dekat di dalam segala sesuatu.
Dalam ajaran Weda, orang mengalami
kekuatan suci dalam ritual pengurbanan. Mereka menyebut kekuatan suci ini
Brahman. Kasta para rahib (disebut dengan istilah Brahmana) juga diyakini
mempunyai kekuatan ini. Karena ritual pengurbanan dipandang sebagai mikro-
kosmos alam semesta, Brahman lambat laun diartikan sebagai sebuah kekuatan yang
menyangga segala sesuatu. Seluruh dunia dipandang sebagai aktivitas ilahi yang
menyeruak dari wujud misterius Brahman, yang merupakan makna batin seluruh
eksistensi. Upanishads men- dorong orang untuk menumbuhkan rasa kehadiran
Brahman di dalam segala sesuatu. Ini adalah proses pewahyuan dalam makna
harfiahnya: pengungkapan dasar tersembunyi dari seluruh wujud. Segala sesuatu
yang terjadi merupakan manifestasi Brahman: pandangan yang benar terletak dalam
persepsi kesatuan di balik fenomena yang berbeda. Sebagian Upanishads melihat
Brahman sebagai kekuatan pribadi, tetapi sebagian lain melihatnya betul-betul
impersonal. Brahman tidak dapat dipanggil dengan kata “engkau”; ini adalah
istilah yang netral, bukan laki-laki atau perempuan, bukan pula dia dialami
sebagai kehenda k ilah yang berdaulat. Brahman tidak berbicara kepada manusia.
Dia tak dapat bertemu dengan lelaki atau perempuan; dia berada di atas segala
aktivitas manusia. Dia juga tidak menanggapi kita dengan secara personal; dosa
tidak membuatnya “marah”, dan dia tidak dapat dikatakan “mencintai” atau
“membenci” kita. Ber- syukur atau memujinya karena telah menciptakan dunia sama
sekali tidak tepat.
Kekuatan ilahiah ini akan
betul-betul terasing dari kita seandainya tidak ada fakta bahwa ia melingkupi,
menyokong, dan mengilhami kita. Teknik-teknik Yoga telah membuat orang sadar
tentang dunia batin. Disiplin pengaturan postur, cara bernapas, makanan, dan
kon- sentrasi mental ini juga telah berkembang secara mandiri dalam kebudayaan
lain, seperti akan kita lihat nanti, dan tampaknya meng- hasilkan pencerahan
serta iluminasi yang telah ditafsirkan secara berbeda-beda, namun alamiah bagi
kemanusiaan. Upanishads meng- klaim bahwa pengalaman mengenai dimensi baru dari
diri ini merupa• kan kekuatan suci yang sama dengan yang melingkupi seluruh
alam. Prinsip abadi yang ada dalam setiap individu disebut Atman: ini merupakan
versi baru visi holistik paganisme kuno, penemuan kem- bali dalam terma baru
Satu Kehidupan yang ada di dalam dan di luar diri kita yang pada dasarnya
bersifat sakral. Chandogya Upanishads menjelaskan hal ini melalui analogi
tentang garam. Seorang pemuda bernama Sretaketu telah mempelajari Weda selama
dua belas tahun dan merasa telah cukup menguasainya. Ayahnya, Uddalaka,
mengaju- kan sebuah pertanyaan yang tak bisa dijawabnya. Kemudian ayahnya
mengajarkan tentang kebenaran fundamental yang sama sekali belum diketahuinya.
Dia memerintahkan anaknya untuk meletakkan sepo- tong garam di dalam air dan
melaporkan hasilnya pada pagi hari berikutnya. Ketika sang ayah memintanya
untuk mengambil garam itu, Sretaketu tidak dapat menemukannya karena garam itu
telah larut semuanya. Uddalaka mulai bertanya:
“Maukah engkau mencicipi bagian ini? Seperti apa
rasanya?” katanya.
“Garam.”
“Cicipilah bagian tengahnya. Seperti apa?”
“Garam.”
“Cicipilah bagian ujungnya. Seperti apa?”
“Garam.”
“Buanglah itu dan mendekatlah kepadaku.” Sretaketu
melakukan apa yang diperintahkan, namun [itu tidak membuat garam] menjadi
berubah. [Ayahnya berkata]: “Anakku, memang benar bahwa engkau tidak
bisamelihat Wujud ada di sini, namun wujud itu benar-benar ada di sini. Esensi
pertama ini—dimiliki alam semesta sebagai Dirinya: Itulah yang Nyata: Itulah
Diri: itulah engkau, Sretaketu!” Jadi, meskipun kita tidak dapat melihatnya,
Brahman melingkupi dunia dan, sebagaimana Atman, abadi dalam diri setiap kita.
Atman mencegah pemberhalaan Tuhan,
menjadi Realitas eksterior “di luar sana”, proyeksi ketakutan dan keinginan
kita sendiri. Dalam Hinduisme, Tuhan tidak dilihat sebagai sebuah Wujud yang
ditambah- kan ke dunia seperti yang kita ketahui, karena itu tidak pula identik
dengan dunia. Tak bisa kita memahami ini melalui akal semata. Pemahama n ini
“diwahyukan” kepad a kita melalui pengalaman (anubhara) yang tidak dapat
diungkapkan dalam kata-kata atau konsep. Brahman adalah “Apa yang tidak bisa
diucapkan dalam kata-kata, tetapi sesuatu yang dengannya kata-kata diucapkan
Apa yang tak bisa dipikirkan oleh akal, tetapi sesuatu yang dengannya akal
berpikir.” Mustahil untuk berbicara kepada Tuha n yang semelekat ini atau
berpikir mengenai dia, menjadikannya objek pikiran semata. la adalah Realitas
yang hanya bisa dicerna dalam puncak perasaan orisinal yang melampaui kesadaran
diri: Tuhan datang kepada pikiran orang-orang yang mengenai Dia melampaui
pikiran, bukan kepada mereka yang membayangkan Dia bisa diraih oleh pikiran.
Dia tidak dikenal oleh kaum cendekia dan dikenal oleh orang sederhana. Dia dikenal
di dalam puncak keterjagaan yang membukakan pintu kehidupan abadi.
Sebagaimana terhadap dewa-dewa,
nalar tidak disangkal tetapi dilampaui. Pengalaman tentang Brahman atau Atman
tidak dapat dijelaskan secara rasional, seperti halnya sepenggal musik atau
syair. Akal mutlak diperlukan untuk menciptakan karya seni semacam itu dan
mengapresiasinya, tetapi ia menawarkan sebuah pengalaman yang melampaui daya
otak atau akal murni. Ini juga akan menjadi tema konstan dalam sejarah Tuhan.
Cita-cita transendensi personal juga
bersemayam di dalam diri Yogi, orang yang meninggalkan keluarganya dan
melepaskan diri dari keterkaitan dan tanggung jawab sosial demi mencari
pencerahan, meletakkan dirinya di dalam realitas wujud yang lain. Sekitar 538
SM, seorang pemuda bernama Siddharta Gautama juga meninggalkan istrinya yang
cantik, putranya, rumahnya yang mewah di Kapilawastu, kira-kira 100 mil ke arah
utara Benares, dan menjadi seorang petapa sederhana. Dia terhenyak melihat
penderitaan manusia dan bermaksud menemukan rahasia untuk mengakhiri nestapa
yang dilihatnya ada dalam segala sesuatu di sekelilingnya. Selama enam tahun,
dia duduk di kaki para guru spiritual Hindu dan menjalani tirakat penyangkalan
diri yang berat, tetapi tidak banyak membuat kemajuan. Ajaran para guru itu
tidak menarik hatinya, dan penyiksaan diri hanya membuatnya lemah. Baru setelah
meninggalkan metode-metode ini sama sekali dan mengalami ketidaksadaran pada
suatu malam dia pun men- dapatkan pencerahan. Seluruh kosmos bersorak, bumi
berguncang, bunga-bunga bertebaran dari langit, angin semerbak berembus, dan
para dewa dari berbagai tingkatan langit bersukaria.
Kembali, seperti dalam visi pagan,
para dewa, alam, dan manusia bersatu dalam simpati. Ada harapan baru untuk
membebaskan diri dari penderitaan dan mendapatkan nirvana, akhir semua nestapa.
Gautama telah menjadi Buddha, Yang Tercerahkan. Pada mulanya, setan Mara
menggodanya untuk tetap berada di tempat itu dan menikmati anugerah yang baru
didapatkannya: tak ada gunanya upaya menyebarkan berita itu karena tak seorang
pu n akan memper- cayainya. Namun, dua dewa dari kuil tradisional—Maha Brahma
dan Sakra, Tuan para devas—datang menemui Buddha dan memintanya untuk
menjelaskan metodenya kepada dunia. Buddha setuju dan selama empat puluh tahun
ke depan, dia mengembara ke pelosok India untuk menyampaikan pesannya: dalam
dunia yang penuh derita ini, hanya satu yang tidak berubah. Itulah Dharma, cara
hidup yang benar, satu-satunya yang bisa membebaskan kita dari penderitaan. Ini
tak ada hubungannya dengan Tuhan. Secara implisit, Buddha mempercayai
eksistensi dewa-dewa sebab mereka merupakan bagian dari latar kulturalnya,
namun dia tidak percaya bahwa mereka berman- faat banyak bagi manusia. Mereka
pun terikat dalam realitas penderitaan dan perubahan; mereka tidak membantunya
meraih pencerahan; mereka terlibat dalam siklus kelahiran kembali sebagaimana
makhluk lain, dan akhirnya mereka juga akan sirna. Akan tetapi, pada saat yang
krusial dalam kehidupannya—seperti ketika dia memutuskan untuk menyebarkan pesannya—dia
membayangkan para dewa mem- pengaruhinya dan memainkan peran aktif. Oleh karena
itu, Buddha tidak menyangkal dewa-dewa, tetapi percaya bahwa Realitas tertinggi
nirvana lebih luhur daripada para dewa. Ketika orang Buddha meng- alami
kedamaian atau rasa transendensi dalam meditasi, mereka tidak mempercayai bahwa
itu berasal dari hubungan dengan wujud yang supranatural. Keadaan seperti itu
alamiah bagi kemanusiaan: bisa dicapai oleh setiap orang yang hidup dengan cara
yang benar dan mempelajari teknik Yoga. Oleh sebab itu, alih-alih bersandar
kepada suatu dewa, Buddha mengajak murid-muridnya untuk menyelamatkan diri
mereka sendiri.
Ketika bertemu murid pertamanya di
Benares setelah peristiwa pencerahannya, Buddha memaparkan sistemnya yang
didasari oleh satu fakta esensial: seluruh eksistensi adalah dukkha. Semuanya
terdiri dari penderitaan: seluruh kehidupan adalah suram. Segalanya datang dan
pergi dalam perubahan tak bermakna. Tak ada yang mempunyai arti penting yang
permanen. Agama dimulai dengan persepsi bahwa ada sesuatu yang salah. Di masa
pagan kuno, ada mitos tentang dunia arketipal suci, yang bersesuaian dengan
dunia kita dan bisa menanamkan kekuatannya kepada manusia. Buddha mengajarkan
bahwa adalah mungkin untuk melepaskan din dan dukkha melalui cara hidup yang
penyayang terhadap sesama makhluk, berbicara dan bertindak lemah lembut, ramah,
dan benar, serta menjauhkan diri dari segala obat-obatan atau bahan memabukkan
yang bisa mengaburkan pikiran. Buddha tidak mengklaim telah menciptakan sistem
ini. Dia bersikeras bahwa dia hanya “memperoleh” saja: “Aku telah melihat
ajaran kuno, sebuah Jalan kuno, yang ditelusuri Buddha dari zaman yang lalu.”
Seperti undang-undang paganisme,
Buddhisme juga dibatasi oleh struktur eksistensi dasar, yang melekat dalam
kondisi kehidupan itu sendiri. la mempunyai realitas objektif bukan karena ia
dapat diper- lihatkan melalui bukti logis, melainkan karena setiap orang yang
secara serius berusaha untuk hidup dengan cara itu akan menemukan bahwa sistem
itu ternyata efektif. Keefektifannya, bukan bukti filosofis atau historis,
selalu menjadi ciri khas agama yang berhasil. Selama berabad-abad orang Buddha
di banyak belahan bumi telah merasakan bahwa gaya hidup ini menghasilkan
pengertian tentang makna tran- sendensi.
Karma mengikat manusia kepada
lingkaran kebangkitan kembali tak berujung dalam rangkaian kehidupan yang sarat
derita. Namun jika mereka mampu mengubah perilaku egois mereka, mereka akan
mampu mengubah nasib. Buddha membandingkan proses kelahiran kembali ini dengan
api yang menyulut sebuah lampu, yang darinya nyala api lampu kedua berasal,
demikian seterusnya hingga nyala itu padam. Jika seseorang masih menyala dengan
dosanya pada saat dia mati, maka dia akan menyulut lampu yang lain. Akan
tetapi, jika api itu dipadamkan, lingkaran penderitaan akan berhenti dan
nirvana akan diperoleh. “Nirvana” secara harfiah berarti “padam” atau “usai”.
Ini bukan semata-mata sebuah keadaan negatif. Di kalangan orang Buddha, ia
justru memainkan peran yang sebanding dengan Tuhan. Seperti dijelaskan Edward
Conze dalam Buddhism: its Essence and Development, kaum Buddhis sering
menggunakan penggambaran teistik untuk menjelaskan nirvana, realitas tertinggi:
Kami diajarkan bahwa nirvana itu
permanen, stabil, abadi, diam, tak lapuk oleh usia, tak pernah mati, tidak
dilahirkan, dan tidak diciptakan, bahwa ia adalah kekuatan, anugerah, dan
kebahagiaan, perlindungan yang aman, tempat berteduh, dan tempat dengan rasa
aman yang tak terpunahkan; bahwa ia adalah Kebenaran sejati dan Realitas
tertinggi; bahwa ia adalah kebaikan, tujuan puncak, dan satu-satunya dambaan
kehidupan kita, kedamaian yang abadi, terselubung, dan tak ter- pahami.
Beberapa penganut Buddha mungkin
berkeberatan atas pembandingan ini karena mereka merasa konsep tentang “Tuhan”
begitu terbatas untuk dapat menuangkan konsepsi mereka tentang realitas
tertinggi. Umumnya hal ini disebabkan karena kaum teistik meng- gunakan kata
“Tuhan” secara terbatas untuk merujuk kepada wujud yang terlalu berbeda dari
kita. Sebagaimana para guru Upanishads, Buddha mengajarkan bahwa nirvana tidak
bisa didefinisikan atau didiskusikan seakan-akan ia berbeda dari realitas
manusia.
Mencapai nirvana tidak sama dengan
“naik ke langit” seperti yang sering dipahami orang Kristen. Buddha selalu
menolak untuk menjawab pertanyaan tentang nirvana atau tentang hal-hal luhur
lainnya karena pertanyaan semacam itu “tidak layak” dan “tidak pantas”. Kita
tidak bisa mendefinisikan nirvana karena kata-kata dan konsep kita terbelenggu
oleh dunia indriawi dan perubahan. Pengalaman adalah satu-satunya “bukti” yang
terandalkan. Murid- muridnya akan mengetahui bahwa nirvana ada hanya karena
latihan mereka menjalani kehidupan yang baik akan memampukan mereka melihatnya.
Wahai para rahib, ada yang tak
dilahirkan, tak menjadi, tak diciptakan, tak tersusun. Jika, wahai para rahib,
tidak ada yang tak dilahirkan, tak menjadi, tak diciptakan, dan tak tersusun
ini, maka tentu tak akan ada jalan keluar bagi yang dilahirkan, yang menjadi,
yang diciptakan, yang tersusun. Tetapi karena ada yang tak dilahirkan, yang tak
menjadi, yang tak diciptakan, dan yang tak tersusun, maka ada jalan keluar bagi
yang dilahirkan, yang menjadi, yang diciptakan, dan yang tersusun.
Para rahibnya tidak boleh
berspekulasi tentang hakikat nirvana. Yang dapat dilakukan Buddha hanyalah
menyediakan bagi mereka rakit yang akan membawa mereka menyeberang ke “pantai
yang lebih jauh”. Ketika ditanya apakah seorang Buddha yang telah men• capai
nirvana tetap hidup setelah mati, dia mengabaikan pertanyaan ini karena menganggapnya
“tidak layak”. Sama tidak layaknya seperti menanyakan ke mana perginya api
setelah ia “padam”. Sama kelirunya mengatakan bahwa seorang Buddha yang hidup
dalam nirvana berarti tidak ada: kata “ada” tidak berhubungan dengan keadaan
apa pun yang bisa kita pahami. Kita akan menemukan bahwa selama berabad- abad,
orang Yahudi, Kristen, dan Muslim telah memberikan jawaban yang sama terhadap
pertanyaan tentang “keberadaan” Tuhan. Buddha berusaha memperlihatkan bahwa
bahasa tidak mampu membahas realitas yang berada di luar jangkauan konsep dan
akal. Lagi-lagi, dia tidak menolak akal tetapi menekankan arti penting
pemikiran yang jernih serta akurat dan penggunaan bahasa. Namun akhirnya, dia
berpendapat bahwa teologi atau kepercayaan seseorang, seperti ritual yang
dijalaninya, tidaklah penting. Hal-hal seperti itu memang menarik, tetapi tidak
punya arti final. Satu-satunya yang berharga adalah hidup dengan cara yang
baik; jika ini diupayakan, penganut Buddha akan menemukan bahwa Dharma itu
benar, meskipun mereka tidak bisa menyampaikannya dalam ungkapan yang logis.
Di sisi lain, orang-orang Yunani
amat tertarik kepada logika dan nalar. Plato (kl. 428-348 SM) selalu
menyibukkan diri mengkaji persoalan-persoalan epistemologi dan hakikat
kebijaksanaan. Banyak karya awalnya ditujukan sebagai upaya membela Sokrates,
yang mendesak orang untuk memperjelas gagasan mereka lewat per-
tanyaan-pertanyaan kritis yang diajukannya. Akan tetapi, Sokrates dihukum mati
pada 399 SM dengan tuduhan merusak para pemuda dan murtad. Dalam cara yang
tidak berbeda dengan yang ditempuh orang India, Plato kecewa terhadap
upacara-upacara kuno dan mitos- mitos agama yang menurutnya merendahkan dan
tidak layak. Plato juga telah dipengaruhi filosof abad keenam SM, Pythagoras
yang mungkin sekali telah terpengaruh gagasan-gagasan dari India, yang menyebar
melalui Persia dan Mesir. Dia juga percaya bahwa jiwa adalah bagian zat ilahi
yang terjatuh, tercemar, dan terperangkap dalam tubuh seperti dalam sebuah
kuburan dan terhukum untuk menjalani siklus kelahiran kembali yang tiada
habisnya. Dia telah menyuarakan pengalaman semua manusia tentang rasa
keterasingan di dunia yang tampaknya bukan merupakan unsur sejati kita. Phy-
tagoras mengajarkan bahwa jiwa bisa dibebaskan melalui penyucian ritual, yang
akan memampukan manusia mencapai harmoni dengan semesta yang teratur. Plato
juga meyakini eksistensi realitas suci dan tak berubah yang melampaui dunia
indriawi, bahwa jiwa adalah sepenggal keilahian, unsur yang terlepas darinya,
terpenjara dalam tubuh tetapi mampu meraih kembali status keilahiannya dengan
cara penyucian daya nalar pikiran. Dalam mitos gua yang populer, Plato
melukiskan kegelapan dan keburaman kehidupan manusia di bumi: manusia hanya
mampu melihat bayang-bayang realitas abadi yang terpantul di dinding gua.
Namun, lambat laun manusia mampu keluar lalu mencapai pencerahan dan pembebasan
dengan melatih pikiran- nya memperoleh cahaya ilahi.
Pada akhir hayatnya , Plato mungkin
telah meninggalkan doktrinnya tentang bentuk-bentuk atau ide-ide abadi, tetapi
gagasan ini justru menjadi krusial bagi banyak monoteis ketika mereka berupaya
mengungkapkan konsepsi ketuhanan mereka. Ide merupakan realitas stabil dan
konstan yang bisa dipahami oleh kekuatan nalar, juga merupakan realitas yang
lebih utuh, permanen, dan efektif dibanding- kan fenomena material yang lemah
dan selalu berubah yang kita capai lewat indra. Segala yang ada di dunia ini
hanyalah pantulan, “bagian” atau “tiruan” dari bentuk-bentuk abadi di wilayah
ilahi. Ada ide yang selalu bersesuaian dengan setiap konsepsi umum yang kita
miliki, seperti Cinta, Keadilan, dan Keindahan. Akan tetapi, yang paling tinggi
di antara semua bentu k adalah ide tentang Kebaikan. Dengan demikian, Plato
telah memberi kerangka filosofis bagi mitos kuno tentang dunia arketipal.
Gagasannya tentang ke- abadian dapat dilihat sebagai versi rasional dari alam
suci mitis, yang di dalamnya hal-hal jasadiah menjadi bayang-bayang semata. Dia
tidak membahas hakikat Tuhan, tetapi membatasi diri pada alam suci
bentuk-bentuk, meski terkadang tampak bahwa Keindahan atau Kebaikan ideal tidak
mewakili suatu realitas puncak. Plato yakin bahwa alam ilahiah itu statis dan
tak berubah. Orang Yunani me- mandang gerak dan perubahan sebagai ciri realitas
inferior: sesuatu yang memiliki identitas sejati selalu sama, dicirikan oleh
ketetapan dan ketakberubahan. Dengan demikian, gerak yang paling sempurna
adalah gerak melingkar karena ia terus-menerus berputar dan kembali ke posisi
asalnya: gerak melingkar benda-benda langit meniru gerakan alam ilahiah dengan
sebaik mungkin. Citra statis alam ilahiah ini akan berpengaruh sangat besar
terhadap orang Yahudi, Kristen, dan Muslim, walaupun hal itu sangat berbeda
dengan Tuhan pemberi wahyu, yang selalu aktif, inovatif dan, di dalam Alkitab,
bahkan berubah pikiran ketika dia menyesal telah menciptakan manusia dan
memutuskan untuk memunahkan ras manusia dalam peristiwa Air Bah.
Ada aspek mistik Plato yang sangat
menyenangkan hati kaum monoteis. Bentuk-bentuk suci Plato bukanlah realitas
yang ada “di luar sana”, melainkan bisa dijumpai di dalam din. Dalam dialog
dramatiknya, Symposium, Plato memperlihatkan betapa kecintaan pada tubuh yang
cantik bisa disucikan dan ditransformasikan menjadi kontemplasi ekstatik
(theoria) tentang Keindahan ideal. Dalam naskah itu dia membuat Diotima, mentor
Sokrates, berbicara bahwa Keindah• an adalah unik, abadi, dan mutlak, tidak
sama dengan apa pun yang pernah kita alami di dunia ini:
Keindahan ini pertama-tama adalah
abadi; ia tidak pernah diwujudkan maupun dimatikan; tak mengalami pasang surut;
kemudian ia bukan indah sebagian dan jelek sebagian, bukan indah pada satu saat
dan jelek pada saat lain, bukan indah dalam kaitannya dengan hal ini dan jelek
dengan hal itu, tidak beraneka menurut keragaman pemerhatinya; tidak pula
keindahan ini akan tampil di dalam imajinasi seperti kecantikan seraut wajah
atau tangan atau sesuatu yang bersifat jasadiah, atau seperti keindahan sebuah
pemikiran atau ilmu pengetahuan, atau seperti keindahan yang bersemayam di
dalam sesuatu di luar dirinya sendiri, apakah itu makhluk hidup atau bumi atau
langit atau apa pun lainnya; dia akan melihatnya sebagai yang absolut, ada
sendirian di dalam dirinya, unik, abadi.
Pendek kata, gagasannya tentang
Keindahan memiliki banyak kesamaan dengan apa yang oleh kaum teistik disebut
“Tuhan”. Meski sedemikian transenden, ide-ide seperti ini dapat dijumpai dalam
pikiran manusia. Dalam era modern, kita memandang berpikir sebagai sebuah
aktivitas, sebagai sesuatu yang kita kerjakan. Plato meng- anggapnya sebagai
sesuatu yang terjadi pada akal: objek-objek pikiran merupakan realitas yang
aktif di dalam akal manusia yang merenung- kannya. Seperti Sokrates, dia
memandang pemikiran sebagai proses mengingat kembali (recollection), pemahaman
sesuatu yang pernah kita ketahui, namun telah terlupa. Karena manusia merupakan
kesuci- an yang tercampak, bentuk-bentuk alam ilahiah ada dalam diri mereka dan
bisa “disentuh” oleh nalar, yang bukan sekadar aktivitas rasional atau otak
melainkan sebuah cerapan intuitif akan realitas abadi yang ada dalam diri kita.
Gagasan ini akan sangat berpengaruh terhadap kaum mistik dalam ketiga agama
monoteis.
Plato percaya bahwa alam semesta
pada dasarnya rasional. Ini adalah mitos atau konsepsi imajiner lain tentang
realitas. Aristoteles (384-322 SM) mengambil langkah lebih jauh. Dia adalah
orang pertama yang mengapresiasi arti penting penalaran logis, basis semua ilmu
pengetahuan, dan yakin bahwa adalah mungkin bagi kita untuk mencapai pengertian
tentang alam semesta dengan cara menerapkan metode ini. Selain mengupayakan
pemahaman teoretis tentang kebenaran dalam empat belas risalah yang dikenal
sebagai Meta• physics (istilah yang diciptakan oleh editornya, yang menempatkan
urutan risalah ini “sesudah Physics”: meta ta physika), dia juga mempelajari
fisika teoretis dan biologi empiris. Meskipun demikian, dia memiliki kesantunan
intelektual yang besar, bersikeras bahwa tak seorang pun mampu mencapai
konsepsi yang memadai tentang kebenaran, tetapi setiap orang bisa memberikan
sumbangsih kecil terhadap pemahaman kolektif manusia. Banyak kontroversi
mengenai penilaiannya terhadap karya Plato. Dia tampaknya secara tempera•
mental menentang pandangan Plato mengenai transendensi bentuk- bentuk, menolak
gagasan bahwa bentuk-bentuk itu mempunyai eksis- tensi pendahulu yang
independen. Aristoteles berpendapat bahwa bentuk-bentuk itu hanya memiliki
realitas sebagaimana keberadaan- nya di dunia material konkret kita ini.
Meski pendekatannya begitu membumi
dan perhatiannya besar kepada fakta ilmiah, Aristoteles memiliki pemahaman yang
tajam tentang hakikat dan arti penting agama dan mitologi. Dia mengemuka- kan
bahwa orang-orang yang terlibat dalam berbagai misteri agama tidak perlu
mempelajari fakta apa pun “kecuali mengalami emosi dan disposisi tertentu.”35Inilah
dasar dari teori sastranya yang terkenal bahwa tragedi mengakibatkan purifikasi
(katharsis) rasa takut dan iba yang berujung pada pengalaman kelahiran kembali.
Tragedi- tragedi Yunani, yang pada awalnya merupakan bagian dari festival
keagamaan , tidak mesti menghadirkan kisah faktual peristiwa- peristiwa sejarah
tetapi berupaya mengilhami kebenaran yang lebih serius. Bahkan sejarah lebih
remeh daripada puisi dan mitos: “Yang satu menguraikan apa yang telah terjadi,
yang lainnya apa yang mungkin terjadi. Karena itu, puisi adalah sesuatu yang
lebih serius dan filosofis daripada sejarah; karena puisi berbicara tentang apa
yang universal, sedangkan sejarah apa yang partikular.”36 Mungkin atau tidak
mungkin ada seorang Achilles atau Oedipus historis, tetapi fakta-fakta
kehidupan mereka tidak relevan dengan karakter yang kita saksikan dalam Homer
dan Sophocles, yang mengekspresikan kebenaran yang berbeda tetapi lebih
mendalam tentang kondisi manusia. Uraian Aristoteles tentang katharsis tragedi
merupakan presentasi filosofis atas kebenara n yang telah dipahami Homo
religiosus secara intuitif: presentasi simbolis, mitikal, dan ritual atas
peristiwa-peristiwa yang tak tertanggungkan dalam kehidupan sehari- hari dapat
menebus dan mentransformasikannya menjadi sesuatu yang murni dan bahkan
menyenangkan.
Gagasan Aristoteles tentang Tuhan
berpengaruh besar terhadap monoteis selanjutnya, khususnya terhadap orang
Kristen di dunia Barat. Dalam Physics, dia menganalisis hakikat realitas dan
struktur serta substansi semesta. Dia mengembangkan apa yang kemudian
berkembang menjadi versi filosofis teori emanasi kuno tentang kisah penciptaan:
Ada hierarki eksistensi, masing-masing memberi bentuk dan mengubah yang di
bawahnya. Akan tetapi, tidak seperti mitos kuno, dalam teori Aristoteles,
emanasi semakin melemah ketika semakin jauh dari sumbernya. Pada puncak
hierarki ini terdapat Penggerak yang Tidak Digerakkan, yang oleh Aristoteles
diidentifikasi sebagai Tuhan. Tuhan ini merupakan wujud murni dan, dengan
demikian, abadi, tidak berubah, dan spiritual. Tuhan ini adalah akal murni,
pada saat yang sama merupakan yang berpikir dan yang dipikirkan sekaligus,
terlibat dalam waktu abadi untuk berkontemplasi tentang dirinya sendiri, objek
pengetahuan tertinggi. Karena materi tidak abadi dan lemah, tidak ada unsur
materi di dalam Tuhan atau tingkat wujud yang lebih tinggi. Penggerak yang
Tidak Digerakkan mengakibatkan semua gerak dan aktivitas di alam semesta,
karena setiap pergerakan pastilah mempunyai sebab yang dapat dilacak kembali
kepada sumber yang tunggal. Dia mengaktifkan dunia melalui sebuah proses
penarikan, karena semua wujud tertarik ke arah Wujud itu sendiri.
Manusia berada dalam posisi
istimewa: jiwa kemanusiaannya mempunyai akal karunia ilahi, yang membuatnya
serumpun dengan Tuhan dan ikut ambil bagian dalam hakikat keilahian. Kapasitas
akal yang ilahiah ini meletakkannya dalam posisi yang lebih tinggi daripada
tumbuhan dan hewan. Akan tetapi, sebagai tubuh dan jiwa, manusia adalah
mikrokosmos keseluruhan alam semesta. Dalam dirinya termuat bahan paling dasar
dari alam semesta sekaligus akal yang ilahiah. Kewajibannyalah untuk menjadi
abadi dan ilahiah denga n cara menyucika n akalnya. Kebijaksanaan (sopbia)
merupaka n yang tertinggi dari semua kebajikan manusia; itu diekspresikan dalam
kontemplasi (theoria) tentang kebenaran filosofis yang, seperti dalam konsepsi
Plato, membuat kita suci dengan cara meniru aktivitas Tuhan sendiri. Theoria
tidak diraih melalui logika semata, tetapi merupakan intuisi terlatih yang
menghasilkan transendensi diri yang ekstatik. Akan tetapi, sedikit sekali orang
yang mampu mencapai kebijaksanaan ini dan kebanyakan hanya dapat mencapai
phronesis, melatih firasat dan kecerdasan dalam hidup sehari-hari.
Meski dalam sistemnya posisi
Penggerak yang Tidak Digerakkan sangatlah penting, Tuhan Aristoteles tidak
banyak terkait dengan agama. Tuhan ini tidak menciptakan dunia, karena tindakan
itu akan mengakibatkan perubahan dan aktivitas temporal yang tidak sepantas-
nya. Meskipun segala sesuatu merindukannya, Tuhan ini tetap tidak peduli pada
eksistensi alam semesta, karena dia tidak dapat ber- kontemplasi tentang
sesuatu yang lebih rendah daripada dirinya. Dia jelas tidak mengarahkan atau
membimbing dunia dan tidak dapat membawa perubahan dalam kehidupan kita, dengan
cara apa pun. Adalah pertanyaan yang tak terjawab, apakah Tuhan mengetahui
keberadaan kosmos ini, yang telah beremanasi darinya sebagai akibat niscaya
dari keberadaannya. Pertanyaan tentang keberadaan Tuhan yang seperti itu secara
keseluruhan bersifat periferal. Aristoteles sendiri mungki n telah meninggalkan
teologinya cli akhir masa hidupnya. Sebagai manusia Zaman Kapak, dia dan Plato
sama-sama menaruh perhatian terhadap kesadaran individual, kehidupan yang baik,
dan masalah keadilan di masyarakat. Namun pemikiran mereka bersifat elitis.
Dunia bentuk-bentuk murni Plato atau Tuhan Aristoteles yang jauh, hanya dapat
menimbulkan sedikit pengaruh bagi kehidupan orang awam, sebuah fakta yang
belakangan terpaksa diakui oleh pengagum keduanya dari kalangan Yahudi dan
Muslim.
Oleh karena itu, dalam
ideologi-ideologi baru Zaman Kapak, terdapat kesepakatan umum bahwa kehidupan
manusia mengandung unsur transenden yang esensial. Para pemikir terkemuka yang
telah kita bahas telah menerjemahkan transendensi ini secara berbeda- beda,
tetapi mereka sepakat untuk melihatnya sebagai sesuatu yang krusial bagi
perkembangan kaum pria dan wanita menjadi manusia yang utuh. Mereka tidak
secara mutlak mencampakkan mitologi- mitologi kuno, tetapi melakukan penafsiran
ulang atasnya dan mem- bantu orang-orang untuk bangkit melampauinya. Pada saat
yang sama dengan masa terbentuknya ideologi-ideologi ini, nabi-nabi Israel
mengembangkan tradisi mereka sendiri untuk menghadapi kondisi yang berubah,
hingga Yahweh akhirnya menjadi satu-satunya Tuhan mereka. Akan tetapi,
bagaimana Yahweh yang pemarah bisa sesuai dengan visi-visi lain yang luhur ini?
Semua perbincangan tentang Tuhan adalah perbincangan yang sulit. Namun,
kaum monoteis bersikap amat positif tentang bahasa sembari tetap menyangkal
kapasitasnya untuk mengekspresikan realitas transenden. Tuhan orang Yahudi,
Kristen, dan Islam adalah Tuhan yang—dalam beberapa pengertian—berkata-kata
(berfirman). Firmannya sangat krusial di dalam ketiga agama besar itu. Firman
Tuhan telah membentuk sejarah kebudayaan kita. Kita harus me- mutuskan apakah
kata “Tuhan” masih tetap memiliki makna bagi kita pada masa sekarang